Syarat-Syarat Berhaji – KonsultasiSyariah.com


Haji adalah ibadah agung yang memiliki syarat, rukun, dan amalan-amalan yang cukup banyak dan dilakukan dalam beberapa hari. Mengetahui hal-hal tersebut sangat penting karena menyangkut keabsahan dan diterimanya ibadah haji. Apalagi ibadah haji bersinggungan dengan kerumunan manusia dalam jumlah besar di satu tempat. Secara umum, syarat haji terbagi menjadi tiga: syarat sah, syarat wajib, dan syarat ijza’.

Syarat sah, syarat wajib, dan syarat ijza’ adalah istilah-istilah dalam ushul fiqh yang berkaitan dengan syarat-syarat pelaksanaan ibadah atau perbuatan hukum dalam Islam. 

  1. Syarat wajib adalah suatu kondisi yang harus dipenuhi seseorang sebelum ia diwajibkan menunaikan suatu ibadah. Jika syarat wajib ini terpenuhi maka ia diwajibkan untuk menunaikan ibadah tersebut. Jika syarat wajib ini tidak terpenuhi maka ibadah tersebut tidak diwajibkan dan tidak dianggap sah apabila tetap dilakukan. Ibadah ini diwajibkan kembali apabila syaratnya telah ada. Contohnya, syarat wajib salat adalah masuk waktu. Apabila belum masuk waktu maka salatnya tidak diwajibkan dan tidak sah.
  2. Syarat al-ijza’ dalam istilah ushul fiqh adalah sesuatu yang dianggap cukup untuk memenuhi kewajiban atau perbuatan ibadah. Dalam konteks ini, sesuatu yang dianggap mujzi (cukup) berarti sudah memenuhi persyaratan dan tidak membutuhkan tambahan. Contohnya, dalam ibadah puasa, seseorang yang menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari, meskipun tidak melakukan ibadah sunah lainnya (seperti memperbanyak doa atau sedekah), tetap dianggap puasanya mujzi (cukup), asalkan ia telah memenuhi syarat wajib puasa.
  3. Syarat sah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan atau ibadah dianggap sah atau diterima dalam hukum Islam. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka perbuatan tersebut tidak sah, meskipun niatnya benar atau telah melaksanakan beberapa rukunnya. Contohnya, dalam salat, syarat sahnya adalah berwudu (jika tidak ada alasan untuk tidak berwudu, seperti haid atau nifas) dan menghadap kiblat. Jika seseorang tidak memenuhi salah satu syarat sah ini, maka salatnya tidak sah, meskipun rukun-rukun salat telah dilaksanakan dengan benar.

Perbedaan antara ketiga istilah ini.

Syarat wajib adalah syarat agar sesuatu diwajibkan atau dituntut untuk dilakukan dalam hukum Islam. Sedangkan syarat ijza’ adalah syarat agar suatu perbuatan atau ibadah dianggap cukup untuk menyelesaikan kewajiban yang ditetapkan, tanpa perlu tambahan lainnya. Adapun syarat sah adalah syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan atau ibadah dianggap sah dan diterima menurut syariat Islam. Jadi, meskipun ketiganya berkaitan dengan syarat-syarat dalam hukum Islam, masing-masing memiliki fungsi dan konteks yang berbeda dalam memastikan sahnya, wajibnya, atau cukupnya suatu perbuatan. Dalam ibadah haji, ketiga syarat ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Syarat wajib, syarat sah, dan syarat ijza’ yang mencakup Islam dan berakal sehat. Orang kafir dan orang gila tidak diwajibkan haji dan tidak sah jika mengerjakannya.
  2. Syarat wajib dan syarat ijza’ yang mencakup balig dan merdeka. Anak kecil dan budak, apabila berhaji, maka hajinya sah, tetapi tidak diwajibkan dan tidak menggugurkan kewajiban hajinya. Anak kecil ini masih diwajibkan berhaji setelah balig. Dan budak tersebut juga tidak gugur kewajiban hajinya walaupun haji sebelumnya sah. 
  3. Syarat wajib saja yang mencakup kemampuan. Apabila ada orang yang tidak memiliki kemampuan tetapi tetap melaksanakan haji, maka hajinya sah dan gugur kewajibannya.

Syarat wajib haji.

Para ulama menyampaikan bahwa syarat wajib haji ada lima, yaitu: Islam, berakal, balig, merdeka, dan memiliki kemampuan. Kelima syarat ini disepakati secara ijmak. ijmak ini disampaikan oleh Ibnu Hazm (lihat Maratib al-Ijma’ hlm. 41), an-Nawawi (lihat al-Majmu’ 7/19), Ibnu Rusyd ( lihat Bidayat al-Mujtahid 2/84), al-Qurthubi (lihat Tafsir 4/150 ) dan asy-Syarbini (lihat Mughni al-Muhtaaj 1/462). Ibnu Qudamah berkata, “Kesimpulannya, haji hanya diwajibkan dengan lima syarat: Islam, berakal, balig, merdeka, dan memiliki kemampuan. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” (lihat al-Mughni 5/7)

PERTAMA: Islam

Haji tidak diwajibkan kecuali atas orang Islam. Oleh karena itu, orang kafir tidak berkewajiban melaksanakan haji dan tidak sah hajinya, Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah/9:28)

Allah melarang mereka mendekati Makkah dan mencegah mereka. Hal ini menunjukkan tidak sah dan tidak wajibnya mereka berhaji, sebab semua yang berhaji harus masuk Makkah dan Ka’bah. Hal ini dijelaskan oleh Abu Hurairah yang menyatakan:

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رضي الله عنه، بَعَثَهُ – فِي الْحَجَّةِ الَّتِي أَمَّرَهُ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ – يَوْمَ النَّحْرِ، فِي رَهْطٍ يُؤَذِّنُ فِي النَّاسِ: أَلَا، لَا يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ، ‌وَلَا ‌يَطُوفُ ‌بالبيت ‌عُرْيَانٌ.

“Abu Bakar mengutusnya pada haji yang mana Rasulullah perintahkan Abu Bakar sebelum haji wada’ pada hari Nahr pada satu rombongan besar untuk menyampaikan kepada orang-orang: ‘Ketahuilah tidak boleh berhaji setelah tahun ini seorang musyrik pun dan jangan thawaf di Ka’bah dengan telanjang’.” (HR. Al-Bukhari no. 1622 dan Muslim no. 1347)

Pemberitahuan ini tentunya dengan perintah Rasulullah. Bagaimana mungkin mereka diperintahkan berhaji, padahal haji mereka tidak sah? Oleh sebab itu, tidak wajib melakukan sesuatu yang tidak sah. 

Juga Allah berfirman:

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ [التوبة: 54]

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At-Taubah/9:54)

Apabila nafkah mereka tidak diterima karena kekufuran, padahal manfaat nafkah tersebut tidak terbatas pada orang yang memberi nafkah saja bahkan manfaatnya juga untuk orang lain, maka ibadah khusus lebih pantas tidak diterima dari mereka. Dan haji termasuk ibadah khusus sehingga tidak diterima dari orang kafir. Oleh karena itu, para ulama berijmak bahwa kewajiban haji hanya berkaitan dengan muslim. Ini dinukilkan oleh Ibnu Hazm (Maraatib al-Ijma’ hlm. 41), Ibnu Rusyd (Bidayat al-Mujtahid 2/83), Ibnu Qudamah (al-Mughni 3/213), dan asy-Syarbini (Mughni al-Muhtaaj 1/462).

An-Nawawi menyatakan, orang kafir asli tidak dituntut berhaji di dunia tanpa perbedaan pendapat dalam hal ini. Apabila ia mampu pada keadaan kafirnya, kemudian masuk Islam dalam keadaan tidak mampu, maka tidak diwajibkan berhaji kecuali ia mampu setelah itu, karena kemampuan dalam kekufuran tidak ada pengaruhnya. Ini tidak ada khilaf sama sekali. (Al-Majmu’ 7/19)

Orang telah berhaji kemudian murtad kemudian taubat dan masuk Islam lagi, apakah diwajibkan haji lagi?

Seorang yang telah melakukan haji yang wajib baginya atau haji Islam, kemudian dengan berjalannya waktu, ia murtad keluar dari agama Islam. Setelah beberapa lama kemudian ia bertaubat dan masuk Islam lagi. Bagaimana status haji yang telah dilakukannya? Apakah masih dikenakan kewajiban haji lagi setelah ia bertaubat? 

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

  1. Tidak wajib haji Islam yang baru setelah taubat dari kemurtadannya, inilah mazhab Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/9) dan Hanabilah (lihat al-Inshaf 3/275 dan Kasysyaah al-Qana’ 2/378). Ini juga pendapat Ibnu Hazm (al-Muhalla 7/277) dan dirajihkan Syekh Ibnu Utsaimin (Majmu’ al-Fatawaa wa Rasa`il ibnu ‘Utsaimin 23/68) dan menjadi fatwa dari Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-Islamiyah wa al-Ifta KSA (Fatawa Lajnah ad-Da’imah 11/27). 

Mereka beralasan dengan firman Allah:

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة: 217]

“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah/2: 217)

Ayat ini menunjukkan bahwa kemurtadan akan menghapus amalan dengan syarat meninggal dunia dalam keadaan kafir. (lihat adz-DZakhiirah 1/217 dan Raudhah at-Thalibin 3/3)

Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala memberitahukan bahwa amalan akan hancur setelah kesyirikan apabila pelakunya mati juga di atas kesyirikan, bukan bila masuk Islam. Ini benar dan pasti. Seandainya orang musyrik berhaji, umrah, salat, puasa, atau berzakat maka tidak gugur kewajibannya sedikit pun dari itu semua. Karena Allah Ta’ala berfirman: 

وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ) الزمر: 65(

“Dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar/39: 65)

Penjelasan bahwa orang murtad yang kembali kepada Islam, maka amalannya ketika ia Islam tidak terhapus. Bahkan amalan tersebut tertulis dan dibalas dengan surga, tidak ada khilaf di antara seorang umat pun, tidaklah mereka, dan tidak juga kami. Karena orang murtad apabila kembali kepada Islam maka tidak termasuk orang-orang merugi, tetapi termasuk orang beruntung, sukses, dan menang. Yang benar, orang yang amalannya hancur adalah orang yang mati di atas kekufuran baik murtad atau tidak. Inilah orang-orang yang merugi, bukan orang yang masuk Islam setelah kufur atau kembali kepada Islam setelah murtad. Allah Ta’ala berfirman: 

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة: 217]

“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah/2: 217)

Benar bahwa amalan seseorang tidak gugur karena murtad kecuali bila mati dalam keadaan kafir. Allah Ta’ala berfirman:

أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى 

“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan.”. (QS. Ali Imran/3: 195)

Dan Allah Ta’ala berfirman: 

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ *الزلزلة: 7

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. Al-Zalzalah/99: 7)

Keumuman ini tidak boleh ditakhsis. Oleh sebab itu, benar bahwa haji dan umrahnya akan ia dapati dan tidak hilang jika kembali kepada Islam.” (al-Muhalla 7/277)

Hal ini dikuatkan dengan sabda nabi ﷺ kepada Hakim bin Hizam.

أَسْلَمْتَ ‌عَلَى ‌مَا ‌أَسْلَفْتَ ‌عَلَيْهِ ‌مِنْ ‌خَيْرٍ

“Kamu masuk Islam dengan apa yang kamu bawa saat masih jahiliah dari amal kebajikan.” (HR. Muslim no.123)

Nabi ﷺ menetapkan adanya pahala baginya atas semua amalan shalih yang pernah dilakukannya di waktu kafir setelah ia masuk Islam. Maka, lebih layak lagi amalan-amalan yang telah dilakukan seorang muslim sebelum murtad jika kembali kepada Islam lagi. (lihat al-Majmu’ 3 /4).

  1. Orang yang telah berhaji kemudian murtad, kemudian bertaubat dan masuk Islam lagi, maka diwajibkan baginya haji dan umrah. Ini pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.

Mereka beralasan dengan firman Allah Ta’ala:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ [الزمر: 65]

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’.” (QS. Az-Zumar/39:65)

Ayat ini menunjukkan kemurtadan menghapus amalan sehingga diwajibkan berhaji lagi. Akan tetapi, argumentasi ini dikritisi dari dua sisi:

  1. Firman Allah:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ [الزمر: 65]

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’.” (QS. Az-Zumar/39:65)

Ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa murtad dapat menghapus amalan. Namun, ia dibatasi (taqyid) bagi orang yang murtad dan tetap dalam kemurtadan hingga mati di atas kekafiran, berdasarkan firman Allah: 

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة: 217]

“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah/2:217)

Seandainya ia murtad kemudian kembali masuk Islam, maka amal salehnya yang telah lalu tidak batal.

  1. Dikritisi oleh pernyataan ibnu Hazm yang menyatakan bahwa tidak ada hujah untuk mereka karena Allah tidak menyatakan pada ayat tersebut:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُك الَّذِي عَمِلْت قَبْلَ أَنْ تُشْرِكَ 

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amal yang kamu amalkan sebelum berbuat syirik.” 

Tambahan (amal yang kamu amalkan sebelum berbuat syirik) ini tidak boleh. Allah hanya memberitahukan bahwa amalannya terhapus setelah berbuat syirik apabila mati di atas kesyirikannya bukan apabila masuk Islam lagi. (lihat al-Muhalla 5/322)

Yang rajih adalah pendapat pertama dan ini menjadi fatwa Lajnah Daimah KSA yang menyatakan bahwa muslim yang pernah berhaji kemudian murtad dengan melakukan sesuatu yang mengeluarkannya dari Islam, kemudian bertobat dan kembali kepada Islam, maka hajinya telah mencukupi dari haji Islam, karena ia telah menunaikan haji dalam keadaan muslim. Al-Qur’an menjelaskan bahwa amalan orang murtad akan terhapus jika ia mati di atas kekufuran, berdasarkan firman Allah:

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة: 217]

“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah/2:217). (Fataawa al-Lajnah ad-Da`imah 11/27)

Wallahu a’lam. 

KEDUA: Berakal

Akal adalah syarat wajib haji dan syarat ijza`. Oleh sebab itu, haji tidak diwajibkan atas orang gila, dan apabila melakukan haji di saat gila, maka hajinya tidak menggugurkan kewajiban haji Islamnya tersebut. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah: 

‌رُفِعَ ‌الْقَلَمُ ‌عَنْ ‌ثَلَاثَةٍ ‌عَنِ ‌النَّائِمِ ‌حَتَّى ‌يَسْتَيْقِظَ، ‌وَعَنِ ‌الصَّبِيِّ ‌حَتَّى ‌يَحْتَلِمَ، ‌وَعَنِ ‌الْمَجْنُونِ ‌حَتَّى ‌يَعْقِلَ

“Diangkat pena atas tiga orang: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga balig, dan orang gila hingga berakal lagi.” (HR. Abu Dawud no. 4398, an-Nasaa’i 6/156, Ibnu Maajah no. 1673, dan Ahmad no. 24738. Hadis ini disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hal ini juga sudah menjadi ijmak sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah (al-Mughni 3/213), an-Nawawi (al-Majmu’ 7/20), dan al-Mirdaawi (al-Inshaaf 3/276). Para ulama juga berijmak bahwa orang gila apabila berhaji lalu sembuh atau anak kecil berhaji kemudian dewasa, maka hajinya tidak menggugurkan haji Islamnya. Ini disampaikan oleh ibnu al-Mundzir. Beliau berkata, “Mereka berijmak bahwa orang gila apabila berhaji kemudian sembuh atau anak kecil berhaji lalu dewasa maka hajinya tidak menggugurkan haji Islamnya. (al-Ijma’ hlm. 60)

Hal ini dikuatkan dengan adanya kaidah orang gila tidak termasuk ahli ibadah sehingga tidak terkait dengan beban syariat sebagaimana anak kecil (lihat al-Majmu’ 7/20 dan al-Mughni 3/213). Demikian juga haji membutuhkan niat dan tujuan sehingga tidak mungkin terwujud pada orang gila. (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 24/255)

Apakah akal termasuk syarat sah?

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat:

  1. Haji orang gila sah apabila ihramnya diwakili oleh walinya. Ini mazhab mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah (lihat Tabyiin al-Haqaa`iq dengan Hasyiyah asy-Syalabi 2/5 dan Haasyiyah ibni ‘Abidin 2/459), Malikiyah (lihat Mawaahib al-Jaliil 3/426 dan Hasyiyah al-‘Adawi 1/517), dan Syafi’iyyah (lihat al-Majmu’ 7/20 dan Nihaayat al-Muhtaaj 3/298). Mereka menganalogikan orang gila dengan anak kecil yang tidak bisa memilah ataupun memilih niat dalam ibadah. (lihat Majallah al-Buhuts al-Islamiyah 53/203)
  2. Haji orang gila tidak sah walaupun ihramnya diwakili oleh walinya. Inilah mazhab Hanabilah (lihat al-Muibdi’ 3/26 dan Kasysyaaf al-Qana’ 2/378), satu pendapat dalam mazhab Hanafiyah (lihat Hasyiyah ibni ‘Abidin 2/459), satu pendapat dalam mazhab Malikiyah (lihat Mawaahib al-Jalil 3/426), dan satu wajah dari Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/20). Pendapat ini dirajihkan oleh syekh Ibnu ‘Utsaimin (asy-Syarhu al-Mumti’ 7/9). Pendapat ini berdalil dengan sabda Rasulullah: 

رُفِعَ ‌الْقَلَمُ ‌عَنْ ‌ثَلَاثَةٍ ‌عَنِ ‌النَّائِمِ ‌حَتَّى ‌يَسْتَيْقِظَ، ‌وَعَنِ ‌الصَّبِيِّ ‌حَتَّى ‌يَحْتَلِمَ، ‌وَعَنِ ‌الْمَجْنُونِ ‌حَتَّى ‌يَعْقِلَ

“Diangkat pena atas tiga orang: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga balig, dan orang gila hingga berakal lagi.” (HR. Abu Dawud no. 4398, an-Nasaa’i 6/156, Ibnu Maajah no. 1673, dan Ahmad no. 24738. Hadis ini disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Yang dimaksud dengan diangkatnya pena adalah tidak ada beban taklif pada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa orang gila bukan termasuk ahli taklif. Demikian juga akal adalah porosnya taklif dan kompetensi ibadah ada dengannya. Orang gila bukan termasuk darinya sehingga tidak ada makna dan faedah dari nusuknya. (lihat al-Majmu’ 7/20) 

Pendapat kedua inilah yang rajih karena kuatnya alasan mereka. Apalagi adanya ijmak yang dinukil oleh al-Mirdaawi bahwa orang gila seandainya berihram sendiri tidak sah ihramnya. (lihat al-Inshaf 3/276). 

Wallahu a’lam.

KETIGA: Balig

Masa balig dalam Islam merujuk pada fase kedewasaan dan kesempurnaan akal seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang menjadi syarat untuk mulai dikenai kewajiban agama seperti salat, puasa, dan haji. Kesempurnaan akal dan kedewasaan seorang anak sangat sulit dipastikan dengan ketentuan baku. Oleh karena itu, banyak orang melihat pada tanda-tanda matangnya organ reproduksi atau sempurnanya kemampuan seksual sebagai tanda masuk usia balig. Masa ini juga dikenal sebagai pubertas atau akil balig. Pada laki-laki ditandai dengan tumbuhnya rambut di bagian tubuh tertentu, mimpi basah, tumbuh jakun, dan suara semakin berat. Sedangkan pada perempuan ditandai dengan tumbuhnya rambut di bagian tubuh tertentu, menstruasi, suara semakin nyaring, dan tumbuhnya payudara.

Selain itu, terdapat pula tanda-tanda psikologis, seperti kesadaran bertanggung jawab, emosi yang tidak stabil, serta mudah marah dan tersinggung. Dalam Islam, anak yang sudah balig disebut sebagai mukalaf yaitu seseorang yang sudah diwajibkan untuk menjalankan syari’at Islam, termasuk kewajiban berhaji. 

Anak-anak yang belum mencapai masa balig terbagi dalam dua kelompok:

  1. Anak-anak sudah mumayiz (ash-Shabiy al-Mumayyiz) adalah anak-anak yang sudah memahami pembicaraan, benar dalam menjawab, dan mengerti maksud dari pembicaraan. Masa ini tidak ada ketentuan yang baku. Bahkan berbeda-beda sesuai perbedaan faham. Ada yang menyatakan bahwa ia adalah yang sudah memahami salat dan puasa. (lihat Mawaahib al-Jalil 3/435 dan al-Majmu’ 7/29)
  2. Anak-anak belum mumayiz (ash-Shabiy Ghairu al-Mumayyiz) adalah anak-anak yang belum mencapai fase mumayiz. 

Usia balig bukan syarat sah haji sehingga para ulama berijmak tentang keabsahan haji anak-anak yang sudah mumayiz. Ijmak ini dinukil oleh beberapa ulama tentang keabsahan haji anak kecil yang belum balig. Al-Qadhi berkata, “Tidak ada khilaf di antara para ulama dalam kebolehan haji membawa anak kecil dan yang melarang hanya sekelompok dari ahli bidah, serta pendapat mereka tidak dianggap. Bahkan pendapat mereka tertolak oleh perbuatan nabi ﷺ . (Syarh Shahih Muslim 9/99) Demikian juga ijmak ini dinukil oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’aani al-Atsaar (2/257). 

Para ulama berbeda pendapat tentang haji anak-anak yang belum mumayiz. Pendapat mereka terbagi menjadi dua:

  1. Hajinya sah dan walinya yang mengihramkannya. Inilah pendapat mazhab Malikiyah yang masyhur (lihat al-Mudawwanah 1/298 dan al-Kaafi Fi Fiqhi Ahli al-Madinah 1/411), asy-Syafi’iyah (lihat al-Haawi al-Kabir 4/206, al-Majmu’ 7/22, dan Mughni al-Muhtaaj 1/461), dan Hanabilah (lihat al-Mughni 3/72 dan al-Furu’ 5/213).

Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan izin dari walinya. Ini juga pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf. Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Malik, Syafi’i, dan seluruh ahli fikih Hijaz dari ulama kedua mazhab tersebut membolehkannya. Ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, dan yang mengikuti keduanya dari ahli Syam dan Mesir membolehkannya. Semua yang kami sebutkan menyunahkan haji bersama anak-anak kecil, menganjurkannya, serta menganggap baik. Demikianlah pendapat mayoritas ulama dari setiap abad. Sekelompok ulama berpendapat tidak sah haji anak-anak dan ini pendapat yang tidak usah dihiraukan dan tidak dijadikan rujukan.” (at-Tamhid 1/103)

Mereka berdalil dengan hadis Ibnu Abbas, beliau berkata:

رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ

“Seorang wanita mengangkat bayinya seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, Apakah ini boleh berhaji?’ Beliau menjawab, ‘Iya dan engkau mendapat pahala’.” (HR. Muslim no. 1336)

Dan hadis as-Saa`ib bin Yazid, beliau berkata:

حُجَّ بِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِينَ

“Aku berhaji bersama Rasulullah dalam usia tujuh tahun.” (HR. al-Bukhari no. 1858)

Hal ini menunjukkan bahwa haji anak-anak sah dan boleh, baik dia sudah mumayiz atau belum. 

Ath-Thahawi berkata, “Hadis ini hanya berisi pemberitahuan dari Rasulullah bahwa anak-anak kecil boleh berhaji. Ini sudah menjadi ijmak semua manusia dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa anak kecil boleh berhaji sebagaimana boleh melakukan salat.” (lihat Syarh Ma’aani al-Atsaar 2/256)

Adanya ijmak yang disampaikan oleh Ibnu Abdil Barr. Beliau berkata tentang hadis wanita yang berhaji membawa anak kecil, “Dalam hadis ini ada faedah fikih yaitu berhaji membawa anak-anak kecil. Jamaah ulama di Hijaz, Iraq, Syam, dan Mesir membolehkannya. Yang menyelisihi mereka dalam hal ini adalah ahlu bid’ah. Mereka tidak memandang bolehnya berhaji membawa anak-anak. Pendapat mereka ini ditinggalkan oleh para ulama karena nabi ﷺ berhaji membawa anak kecil, budak bani Abdil Muthalib.” Ibnu Abdil Barr juga berkata, “Para Salaf berhaji membawa anak-anak mereka.” (al-Istidzkar 4/398) 

Wali diperbolehkan menikahkan dan berjual beli untuk anak-anak kecilnya, sehingga sah juga bagi wali untuk berihram mewakilinya apabila ia belum mumayiz. (Kasysyaaf al-Qana’ 2/380)

  1. Tidak sah haji anak-anak kecil yang belum mumayiz. Inilah pendapat Abu Hanifah (lihat Haasyiyah ibni ‘Abidin 2/458 dan Bidayat al-Mujtahid 2/83).

Mereka berdalil bahwa pada asalnya ibadah tidak sah dari yang tidak berakal. Apabila pena syariat diangkat dari anak kecil, bagaimana mungkin hajinya diterima? 

Alasan ini dikritisi karena diangkatnya pena syariat bermakna diangkatnya dosa, bukan membatalkan semua kebaikan yang dikerjakannya. Justru anak-anak tersebut diberi pahala apabila bersedekah dan berhaji. Meskipun tidak ditulis keburukan dan dosa yang dilakukannya, hal itu tidak menghalangi ditulisnya kebaikan yang mereka lakukan. 

Pendapat ini juga beralasan bahwa anak kecil yang belum mumayiz tidak dapat berniat, oleh karenanya bagaimana mungkin ihramnya sah? 

Alasan ini dikritisi dengan niat tidak diwajibkan padanya dan gugur karena tidak mampu, sehingga walinya yang mewakili seperti dalam hal pembayaran zakat.

Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mengesahkan haji anak-anak kecil yang belum mumayiz karena adanya hadis Ibnu Abbas di atas. 

Balig adalah syarat wajib dan ijza’

Masa balig adalah syarat wajib dan ijza’ sehingga tidak wajib berhaji atas anak-anak kecil. Apabila ia berhaji maka tidak menggugurkan kewajiban haji Islam. Dan wajib baginya berhaji lagi ketika sudah balig. (lihat al-Majmu’ 7/21). Ini semua berdasarkan sabda nabi ﷺ:

رُفِعَ ‌الْقَلَمُ ‌عَنْ ‌ثَلَاثَةٍ ‌عَنِ ‌النَّائِمِ ‌حَتَّى ‌يَسْتَيْقِظَ، ‌وَعَنِ ‌الصَّبِيِّ ‌حَتَّى ‌يَحْتَلِمَ، ‌وَعَنِ ‌الْمَجْنُونِ ‌حَتَّى ‌يَعْقِلَ

“Diangkat pena atas tiga orang: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga balig, dan orang gila hingga berakal lagi.” (HR. Abu Dawud no. 4398, an-Nasaa’i 6/156, Ibnu Maajah no. 1673, dan Ahmad no. 24738. Hadis ini disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Dalam hadis ini ada dalil yang jelas bahwa haji anak-anak kecil hanya sunah dan belum menunaikan kewajiban, karena tidak mungkin seseorang dapat menunaikan kewajiban sementara ia sendiri tidak diwajibkan. (at-Tamhid 1/108). Juga berdasarkan ijmak para ulama, sebagaimana dinukilkan oleh at-Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi 3/265), Ibnu al-Mundzir (al-Ijma’ hlm. 60), Ibnu Abdilbarr (at-Tamhid 1/107), Ibnu Juziy (al-Qawaanin al-Fiqhiyah hlm. 86), al-Qaadhi ‘Iyadh (al-Majmu’ 7/42), dan asy-Syarbini (Mughni al-Muhtaaj 1/462). Demikian juga yang belum balig tidak mukalaf sehingga tidak ada hubungan dengan taklif. (al-Mughni 3/213)

Amalan anak kecil dalam ibadah haji

Amalan anak kecil dalam haji terbagi dalam dua bagian:

  1. Yang mampu dilakukan anak kecil yang berhaji, seperti wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, maka itu wajib dilakukan dan tidak boleh diwakilkan. Tidak sah diwakilkan orang lain karena tidak ada hajat untuk diwakilkan. Dan bukan berarti ia berdosa jika tidak melakukannya, sebab ia belum mukalaf.
  2. Yang tidak mampu dilakukan sendiri, maka diwakilkan walinya. 

Ibnu Qudamah berkata, “Semua yang mungkin dilakukan sendiri maka wajib dilakukan dan tidak boleh diwakilkan orang lain, seperti wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, dan sejenisnya. Adapun yang tidak mampu dilakukan maka diwakilkan oleh walinya.” (al-Mughni 3/242 dan lihat juga Hasyiyah ibni Abidin 2/466, Mawaahib al-Jalil 3/435, al-Majmu’ 7/21, dan Kasysyaaf al-Qana’ 2/381). Alasannya adalah atsar dari Ibnu Umar dengan sanad sahih, beliau berkata, 

كُنَّا نَحُجُّ بِصِبْيَانِنَا فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْهُمْ رَمَى وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ رَمَي عَنْهُ

“Kami berhaji membawa anak-anak kecil kami. Siapa yang mampu dari mereka maka melempar, dan yang tidak mampu maka diwakilkan lemparannya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 13843, Ahmad dalam Masaa`il Abi Dawud hlm. 163, dan Ibnu Ma’in dalam Juznya (18) dari Nafi’ dari Ibnu Umar). Juga ada atsar dari Abu Bakar. Beliau tawaf membawa Ibnu Zubair dengan jarit. (Riwayat Abdurrazaq dalam al-Mushannaf 5/70 dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 3/825 dan dilemahkan oleh al-Hafizh dalam al-Ishabah 4/30)

Ada ijmak yang dinukil oleh Ibnu al-Mundzir (al-Isyaraaf 3/328), Ibnu Qudamah (al-Mughni 3/242), an-Nawawi (al-Majmu’ 7/19, Ibnu Hazm (Maraatib al-Ijma’ hlm. 41), dan asy-Syarbini (Mughni al-Muhtaj 1/462). 

KEEMPAT: Merdeka

Seorang dikatakan merdeka apabila sudah bebas dari perbudakan. Hal ini menjadi syarat wajib haji sehingga tidak wajib bagi budak untuk berhaji dengan kesepakatan mazhab fikih: Hanafiyah (lihat Badai’ ash-Shanai’ 2/120), Malikiyah (lihat adz-Dzakhiirah 3/179 dan al-Qawaanin al-Fiqhiyah hlm. 86), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/43 dan Mughni al-Muhtaaj 1/462), dan Hanabilah (lihat al-Mughni 3/213). Ibnu Qudamah (al-Mughni 3/213), an-Nawawi (al-Majmu’ 7/43), asy-Syarbini (Mughni al-Muhtaaj 1/462), dan asy-Syinqithy (Adhwa` al-Bayaan 4/304) menukilkan ijmak atas hal tersebut. 

Namun mazhab Zhahiriyah menyelisihi hal ini. Mereka memandang kewajiban haji atas budak sama seperti orang yang merdeka. Ibnu Hazm mengkritisi keabsahan ijmak yang dinukil dalam masalah ini. (lihat al-Muhalla 7/43 no. 812). Mereka berdalil pada pernyataan Ibnu Abbas, beliau berkata:

‌أَيُّمَا ‌صَبِيٍّ ‌حَجَّ، ‌ثُمَّ ‌بَلَغَ، ‌فَعَلَيْهِ ‌حَجَّة ‌الْإِسْلَامِ، وَأَيُّمَا عَبْدٍ حَجَّ ثُمَّ عَتَقَ فَعَلَيْهِ حَجَّةُ الإسْلَامِ

“Anak kecil yang berhaji kemudian balig maka wajib baginya haji Islam (haji wajib) dan budak yang berhaji kemudian dibebaskan maka wajib baginya haji Islam.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no. 3050, al-Haakim dalam al-Mustadrak 1/481, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 4/325, dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla 7/44 dengan sanad sahih, sebagiannya meriwayatkan secara maukuf dan sebagian lainnya meriwayatkan secara marfu’. Di antara yang menguatkan riwayat marfu’ adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 14875 dari al-A’masy dari Abi Zhbiyaan dari ibnu Abbas, beliau berkata, “Hafalkanlah dariku dan jangan katakan!”

Ibnu Hajar berkata, “Ini tekstualnya ia inginkan marfu’. Oleh karena itu beliau melarang menisbatkannya kepada beliau.” (at-Talkhish al-Habir 3/1502 no.3204). Hadis ini disahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 986.

Haji seandainya wajib bagi hamba sahaya pada keadaannya sebagai budak, tentu akan mencukupkannya dari haji Islam. Hal ini menunjukkan hajinya tidak cukup dan apabila telah dibebaskan dari perbudakannya dan menjadi orang yang merdeka maka diwajibkan kembali haji Islam. (lihat Adhwa` al-Bayaan 4/304). Haji adalah ibadah yang cukup lama masanya dan berhubungan dengan perjalanan jauh. Seorang budak sibuk berkhidmat kepada tuannya dan semua kemanfaatannya adalah hak tuannya. Seandainya diwajibkan haji atasnya, tentulah akan terlantar hak-hak tuannya yang berhubungan dengan dirinya. Hal ini menunjukkan tidak wajibnya haji baginya, seperti juga jihad. (lihat al-Majmu’ 7/43). Terlebih lagi kemampuan adalah syarat wajib haji yang tidak terwujudkan kecuali dengan memiliki bekal dan kendaraan. Budak tidak memiliki itu semua. (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 17/28)

Apakah merdeka adalah syarat ijza’?

Merdeka adalah syarat ijza` dari haji wajib. Apabila hamba sahaya berhaji maka tidak menggugurkan kewajiban haji dan tetap diwajibkan ketika dia dimerdekakan. Ini menurut kesepakatan empat mazhab fikih: Hanafiyah (lihat Badai’ ash-Shanai’ 2/120), Malikiyah (lihat al-Kaafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah 1/413 dan Mawaahib al-Jaliil 3/443), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/56 dan Mughni al-Muhtaaj 1/462), dan Hanabilah (lihat al-Mughni 3/213).

Mereka berdalil dengan syarat kemampuan yang Allah ta’ala tetapkan dalam firman-Nya: 

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا [آل عمران: 97]

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97)

Kemampuan itu harus dengan cukupnya bekal dan kendaraan. Budak tidak memilikinya, karena ia dimiliki sehingga bukan pemilik walaupun diizinkan. Oleh sebab itu, ia tidak memenuhi syarat wajib haji. Budak menurut mayoritas ulama keluar dari objek umum dengan dalil tidak ada kompetensi beraktifitas pada dirinya dan hartanya milik tuannya. Ia tidak boleh berhaji tanpa izin tuannya. (at-Tamhid 1/108). 

Ditambah dengan hadis ibnu Abbas, beliau berkata:

أَيُّمَا ‌صَبِيٍّ ‌حَجَّ، ‌ثُمَّ ‌بَلَغَ، ‌فَعَلَيْهِ ‌حَجَّة ‌الْإِسْلَامِ، وَأَيُّمَا عَبْدٍ حَجَّ ثُمَّ عَتَقَ فَعَلَيْهِ حَجَّةُ الإسْلَامِ

“Anak kecil yang berhaji kemudian balig maka wajib baginya haji Islam (haji wajib) dan budak yang berhaji kemudian dibebaskan maka wajib baginya haji Islam.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no. 3050, al-Haakim dalam al-Mustadrak 1/481, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 4/325, dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla 7/44. Hadis ini dihahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 986) 

Hal ini dikuatkan adanya penukilan ijmak oleh Ibnu al-Mundzir (lihat al-Majmu’ 7/62) dan Ibnu Abdil Barr sebagaimana disampaikan Ibnu Muflih, Inilah pendapat umumnya ulama kecuali orang-orang syadz. Bahkan Ibnu Abdil Barr menyampaikan ijmak. (al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’ 3/27) 

Al-Qasim bin Muhammad, Mujahid, dan ulama Zhahiriyah memandang budak apabila berhaji kemudian dibebaskan maka sudah mencukupkan dari haji Islam. (lihat al-Muhalla 5/14)

Mereka beralasan bahwa seorang budak apabila berhaji dengan izin tuannya dan berniat untuk kewajiban maka itu mujzi’ (menggugurkan kewajiban), karena kami berpendapat, tidak wajib baginya haji dan karena ia seperti orang fakir. Orang fakir seandainya ketika fakir berhaji dan menahan susahnya berhaji maka kewajiban haji gugur. Demikian juga budak apabila berhaji dengan izin tuannya maka gugur kewajibannya. 

Yang rajih adalah pendapat mayoritas dan umumnya para ulama di atas.

KELIMA: Memiliki kemampuan

Ibadah haji adalah ibadah yang memerlukan kemampuan harta dan fisik. Karena ibadah haji berisikan amalan-amalan fisik dan juga memerlukan harta untuk mengunjungi Ka’bah dan tempat-tempat yang menjadi syiar haji. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya: 

وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ [الحج: 27]  

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj/22:27)

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, 

كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} [البقرة: 197]

“Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal’. Apabila sampai Makkah mereka mengemis kepada orang-orang.” Lalu Allah menurunkan firman-Nya: 

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى [البقرة: 197] 

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah/2:197)

Ibnu Jarir berkata, “Berbekallah berupa makanan pokok kalian yang dapat menyampaikan kalian mampu melaksanakan kewajiban kalian dalam haji dan manasik kalian. Bukan termasuk berbuat baik kepada Allah dengan tidak berbekal untuk diri kalian dan meminta-minta kepada manusia serta menyia-nyiakan dan merusak bahan makanan pokok kalian. Namun kebaikan itu ada pada ketakwaan kepada Rabb kalian dengan meninggalkan semua larangan-Nya dalam safar haji dan melaksanakan semua perintah-Nya kepada kalian. Karena itulah sebaik-baik bekal dan berbekallah darinya!” (Jaami’ al-Bayaan 4/161)

Oleh karena itu, Allah mewajibkan haji hanya kepada mereka yang memiliki kemampuan. Allah berfirman:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97)

Yang dimaksud kemampuan dalam haji

Dari ayat di atas ada syarat kewajiban haji yaitu kemampuan yang diambil dari bahasa arab istitha’ah. Kata ini dalam bahasa Arab bermakna kekuatan dan kemampuan atas sesuatu. (lihat al-Mishbah al-Munir 2/320 dan Nihayah Fi Gharib al-Hadits 3/142). Sedangkan dalam istilah fikih, orang yang mampu (al-Mustathi’) adalah orang yang mampu dalam harta dan badannya. Ini berbeda-beda sesuai keadaan manusia dan kebiasaan mereka. Ketentuan umumnya, ia mampu naik kendaraan serta mendapatkan bekal dan kendaraan yang baik setelah selesai menunaikan kewajiban nafkah dan kebutuhan primer. (lihat Fathu al-Qadir 2/417 dan al-Qawaanin al-Fiqhiyah hlm. 87)

Dengan kata lain, mampu dalam haji adalah fisik sehat dan memiliki biaya yang dapat mengantarkan ke Baitullah Haram, baik dengan pesawat, mobil, kendaraan atau taksi, sesuai kondisinya. Dia pun memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan pulang. Biaya tersebut harus berupa kelebihan dari nafkah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya sampai dia kembali dari hajinya. Sedangkan wanita harus bersama suami atau mahramnya, baik dalam safar haji atau umrah.

Kemampuan adalah syarat wajib haji 

Kewajiban haji disyaratkan adanya kemampuan berdasarkan firman Allah: 

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97). (lihat Kasysyaaf al-Qana’’ 2/386). 

Allah Ta’ala mengkhususkan orang yang mampu dalam kewajiban haji sehingga kewajiban dikhususkan baginya dan yang tidak mampu tidak diwajibkan. (lihat al-Mughni 3/214). Ibnu al-Muflih berkata, “Karena objek pembicaraannya hanyalah untuk yang mampu, kata (مَنِ) adalah badal dari (النَّاسِ) sehingga pengertiannya Allah memiliki hak atas orang yang mampu.” (al-Mubdi’ Syarh al-Muqni 3/33) 

Adanya ijmak para ulama bahwa kemampuan ini adalah syarat wajib haji, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazm (Maratib al-Ijma’ hlm. 41), Ibnu Qudamah (al-Mughni 3/213), al-Qurthubi (Tafsir al-Qurthubi 4/150), dan an-Nawawi (al-Majmu’ 7/63). 

Ibnu Hazm berkata, “Mereka bersepakat bahwa orang merdeka, muslim, berakal, balig, sehat jasmani: memiliki kedua tangan, mata, dan kedua kaki, memiliki bekal dan kendaraan, dan harta yang ditinggalkan untuk keluarganya mencukupi selama perginya, dan tidak ada bahaya di perjalanan laut maupun rasa takut, serta tidak dilarang oleh kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka, maka hajinya wajib.” (Maraatib al-Ijma’ hlm. 41). Sedangkan Ibnu Qudamah berkata, “Umat berijmak bahwa kewajiban haji adalah atas orang yang mampu dan hanya sekali seumur hidup.” (al-Mughni 3/213). Adapun al-Qurthubi berkata, “Haji hanya diwajibkan kepada yang mampu secara ijmak.” (Tafsir al-Qurthubi 4/150). Juga an-Nawawi berkata, “Kemampuan adalah syarat wajib haji dengan ijmak kaum muslimin.” (al-Majmu’ 7/63). Juga ada hubungannya dengan tidak adanya beban syariat pada sesuatu yang tidak mampu dikerjakan, baik secara syariat maupun akal. (Lihat Kasysyaaf al-Qana’ 2/386).

Apakah kemampuan adalah syarat ijza’?

Kemampuan bukan syarat ijza’ dalam haji, sehingga bila orang yang tidak mampu tetap menerjang kesulitan dan kekurangannya lalu berhaji tanpa bekal cukup dan kendaraan, maka hajinya sah dan menggugurkan kewajibannya. Inilah kesepakatan empat mazhab; Hanafiyah (lihat al-Bahru ar-Raa`iq 2/335 dan Haasyiyah ibni ‘Abidin 2/459), Malikiyah (lihat Mawaahib al-Jalil 3/447-448 dan Hasyiyah ad-Dasuqi 2/5), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/20), dan Hanabilah. (lihat al-Mughni 3/214).

Di antara alasan dan dasar hukum ini adalah:

  1. Beberapa sahabat berhaji tidak membawa apa-apa, sebagaimana disampaikan Imam al-Bukhari dari Ibnu Abbas, beliau berkata, 

كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} [البقرة: 197]

“Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal’. Apabila sampai Makkah mereka mengemis pada orang-orang. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: 

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى [البقرة: 197] 

‘Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.’ (QS. Al-Baqarah/2:197)

Nabi ﷺ melihat mereka dan tidak memerintahkan mereka mengulangi hajinya. Juga kemampuan yang disyaratkan dalam kewajiban haji tujuannya agar memudahkan mereka untuk menunaikan haji secara sempurna. Apabila telah sampai dan mengerjakan ibadah haji maka sah dan gugur kewajibannya.” (lihat al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’ 3/33)

Ibnu Jarir berkata, “Berbekallah berupa makanan pokok yang dapat menyampaikan kalian kepada kemampuan melaksanakan kewajiban dalam haji dan manasik. Bukan termasuk berbuat baik kepada Allah dengan tidak berbekal untuk diri kalian, dan meminta-minta kepada manusia, serta menyia-nyiakan dan merusak bahan makanan pokok kalian. Namun kebaikan itu ada pada ketakwaan kepada Rabb kalian dengan meninggalkan semua larangan-Nya dalam safar haji dan melaksanakan semua perintah-Nya. Karena itulah sebaik-baik bekal dan berbekallah darinya!” (Jaami’ al-Bayaan 4/161)

  1. Gugurnya kewajiban haji bagi yang tidak mampu adalah untuk menghilangkan kesusahan. Apabila telah melaksanakannya maka sah dan gugur kewajiban haji Islamnya, sebagaimana seandainya orang yang tidak mampu memaksakan diri untuk salat dan puasa. Sebagaimana juga seandainya orang sakit memaksakan diri untuk menghadiri salat Jum’at atau orang kaya yang tetap melaksanakan haji meski jalan menuju Makkah sedang berbahaya. Semuanya ini sah hajinya. (lihat al-Mughni 3/214 dan Mir’aah al-Mafaatih Syarh Misykaah al-Mashaabih 8/391)

Izin orang tua dalam haji Islam

Orang tua tidak berhak melarang anaknya yang mukalaf untuk berhaji Islam atau wajib. Inilah pendapat ahli fikih Hanafiyah (lihat Hasyiyah ibni ‘Abidin 2/456 dan al-Fataawa al-Hindiyah 1/320) dengan syarat orang tua tidak membutuhkan khidmatnya. Ini juga pendapat Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 8/349 dan Mughni al-Muhtaaj 1/537), Hanabilah (lihat al-Mughni 3/459 dan Kasysyaaf al-Qana’ 2/386), dan salah satu pendapat Malikiyah. Sedang pendapat Malikiyah lainnya membolehkan orang tua untuk melarang anaknya dari bersegera menunaikan kewajiban haji. (lihat adz-Dzakhirah 3/183 dan al-Qawaanin al-Fiqhiyah hlm. 94)

Di antara dalil pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا [لقمان: 15]

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman/31:15)

Juga sabda Rasulullah ﷺ:

لَا ‌طَاعَةَ ‌فِي ‌مَعْصِيَةِ ‌اللهِ، ‌إِنَّمَا ‌الطَّاعَةُ ‌فِي ‌الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya pada hal yang baik.” (HR. Muslim no. 1840)

Menaati orang tua hanyalah diwajibkan selama tidak maksiat. (Kasysyaaf al-Qana’ 2/386). Menghalangi seseorang menunaikan kewajiban haji adalah maksiat. 

Juga berdalil dengan hadis Ibnu Mas’ud. Beliau berkata:

سَأَلْت رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ: ‌يَا ‌رَسُولَ ‌اللَّهِ، ‌أَيُّ ‌الْعَمَلِ ‌أَفْضَلُ؟ ‌قَالَ: (‌الصَّلَاةُ ‌عَلَى ‌مِيقَاتِهَا). قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: (ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ). قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: (الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ). فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.

“Aku pernah bertanya kepada nabi ﷺ: ‘Amal apa yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala?’ Beliau menjawab: ‘Yaitu salat tepat pada waktunya.’ ‘Lalu apa lagi’, tanyaku. Beliau pun menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ ‘Kemudian apa lagi,’ tanyaku lebih lanjut. Maka beliau menjawab: ‘Jihad di jalan Allah’.” (HR. al-Bukhari no. 2782 dan Muslim no. 85)

Dalam hadis ini nabi ﷺ mendahulukan salat sesuai waktunya dari berbakti kepada kedua orang tuanya. Sehingga menunjukkan bahwa kewajiban pribadi (wajib ‘ain) yang menjadi hak Allah didahulukan dari kewajiban pribadi yang menjadi hak-hak makhluk. Sehingga didahulukan haji wajib daripada berbakti kepada kedua orang tuanya. (Fathu al-Bari ibnu Rajab 3/46-47)

Demikian juga ada qiyas atau analogi kepada salat wajib dengan kesamaan kewajiban pada keduanya. Sebagaimana kedua orang tua tidak dapat melarang anaknya dari salat wajib maka demikian juga pada haji wajib. 

Izin orang tua untuk haji sunah 

Kedua orang tua diperbolehkan melarang anaknya dari haji sunah (haji yang dilakukan setelah haji Islam) menurut kesepakatan empat mazhab: Hanafiyah (lihat al-Bahru ar-Ra`iq 2/332 dan Hasyiyah ibnu ‘Abidin 2/456), Malikiyah (lihat al-Kaafi 1/257 dan al-Qawaanin al-Fiqhiyah hlm. 94), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 8/348 dan Mughni al-Muhtaaj 1/537), dan Hanabilah (lihat al-Mughni 3/459 dan al-Inshaf 3/284).

Alasannya, kewajiban menaati orang tua dalam perkara yang dibolehkan dan tidak maksiat, walaupun keduanya fasik karena keumuman perintah-perintah syariat untuk berbakti dan berbuat baik kepada keduanya. (lihat Kasysyaaf al-Qana’ 2/386). Juga analogi kepada jihad. Orang tua boleh melarang anaknya berjihad padahal hukumnya fardu kifayah. Maka haji yang hukumnya sunah lebih boleh lagi. (lihat al-Mughni 3/459)

Izin dari perusahaan atau tempat kerja

Siapa saja yang ingin berhaji Islam dan ada perjanjian kerja antara dia dengan orang lain, maka ia harus meminta izin. Apabila diizinkan maka boleh berhaji dan bila tidak maka wajib menunaikan perjanjiannya secara sempurna dan tidak berhaji. Inilah fatwa Syekh bin Baaz (lihat Majmu’ Fatawa syekh bin Baaz 17/122-123), Ibnu Utsaimin (Majmu’ Fatawa wa Rasaa`il Ibni Utsaimin 21/60), dan al-Lajnah ad-Da`imah KSA (lihat Fataawa al-Lajnah ad-Da`imah KSA 11/117)

Hal tersebut berdasarkan keumuman ayat dan hadis tentang kewajiban menunaikan dan menyempurnakan akad perjanjian, seperti firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ [المائدة: 1]

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Ma`idah/5:1)

Juga sabda Rasulullah ﷺ:

‌الْمُسْلِمُونَ ‌عَلَى ‌شُرُوطِهِمْ

“Kaum muslimin menunaikan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3594 dan dihukumi sebagai hadis hasan sahih oleh al-Albani)

Akad perjanjian antara perusahaan dan karyawannya adalah akad perjanjian yang harus ditunaikan.

Jenis kemampuan

Kemampuan yang disyaratkan dalam kewajiban haji dan umrah terbagi menjadi empat:

  1. Mampu dengan badan dan hartanya, maka haji dan umrah menjadi wajib dengan sendirinya menurut ijmak para ulama. (lihat Maratib al-Ijma’ hlm. 41 dan al-Mughni 3/213)
  2. Tidak memiliki kemampuan harta dan badan, maka haji dan umrah gugur darinya menurut ijmak para ulama. (lihat al-Majmu 7/63, Majmu’ al-Fatawa 8/439, Maratib al-Ijma’ hlm. 41, dan al-Mughni 3/213). Ibnu al-‘Arabi berkata, “Apabila sakit atau tidak bisa berpegangan di kendaraan, tidaklah diwajibkan berangkat haji menurut ijmak umat, karena haji hanya diwajibkan kepada orang yang mampu menurut ijmak. (Ahkaam al-Qur`an hlm. 389)
  3. Memiliki kemampuan badan dan tidak memiliki kemampuan harta, maka haji dan umrah tidak diwajibakn padanya tanpa ada khilaf. Ibnu Qudamah berkata, “Apabila tidak memiliki harta yang digunakan untuk menggantinya maka tidak wajib berhaji tanpa khilaf, karena yang benar seandainya tidak mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk berhaji maka tidak wajib berhaji. Orang yang sakit lebih pas lagi untuk tidak diwajibkan berhaji.” (al-Mughni 3/222). Akan tetapi apabila pelaksanaan hajinya tidak membutuhkan harta seperti penduduk Makkah yang tidak susah untuk berangkat ke tempat-tempat syiar haji (Masya’ir) maka tetap wajib berhaji. (lihat Subul as-Salaam 2/180 dan asy-Syarhu al-Mumti’ 7/11)
  4. Memiliki kemampuan harta tetapi fisiknya tidak mampu yang tidak diharapkan hilangnya ketidakmampuannya tersebut, apakah diwajibkan atasnya haji? Dalam hal ini ada dua masalah:
  1. Orang sakit yang tidak mampu berhaji sendiri.

Orang yang tidak mampu duduk di atas kendaraan adalah tidak memiliki kemampuan sehingga tidak diwajibkan berhaji, karena keumuman firman Allah Ta’ala: 

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97)

Juga hadis Ibnu Abbas yang berkata: 

جَاءَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ 

“Seorang wanita datang seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam haji telah menjumpai ayahku, seorang tua yang lanjut usia, tidak mampu duduk di atas kendaraan, apakah aku menghajikannya?’ Beliau menjawab, ‘Iya’.” (HR. al-Bukhari no. 1513 dan Muslim 1334) 

Dalam masalah ini ada ijmak yang menyatakan tidak wajibnya haji bagi orang yang tidak mampu duduk di atas kendaraan, seperti dinukil oleh al-Qurtthuby. (Tafsir al-Qurthubi 4/150)

Kesimpulannya, orang sakit ada dua keadaan:

  1. Orang sakit yang masih mampu berhaji maka diwajibkan berhaji. Apalagi di zaman sekarang ini dengan majunya teknologi dan sarana transportasi memungkinkan seseorang berhaji menggunakan kursi roda.
  2. Orang sakit yang tidak dapat bangun dari pembaringannya, maka orang seperti ini tidak wajib berhaji, karena haji diwajibkan pada yang mampu.

Wallahu a’lam.

  1. Orang yang mampu secara harta tetapi tidak mampu secara fisik dan badannya.

Orang yang diberikan Allah Ta’ala kemampuan harta tetapi diuji dengan ketidakmampuan badan dan fisiknya, seperti ditimpa sakit yang tidak diharapkan bisa sembuh atau usia lanjut yang melemahkannya. Apakah diwajibkan berhaji? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

  1. Diwajibkan atasnya haji dan umrah badal diwakili orang lain apabila memiliki harta. Inilah pendapat mazhab Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/94 dan Mughni al-Muhtaj 1/469) dan hanabilah (lihat al-Mughni 3/222 dan asy-Syarhu al-Mumti’ 7/31).

Berdalil dengan keumuman firman Allah Ta’ala:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97) 

Orang yang mampu berhaji dengan badan dan hartanya maka diwajibkan haji padanya. Apabila tidak mampu berhaji karena badannya dan mampu secara harta maka wajib ada yang mewakilinya berhaji. (al-Muhalla 7/56). Ini juga ditunjukkan oleh hadis Ibnu Abbas:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ 

“Seorang wanita datang seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam haji telah menjumpai ayahku, seorang tua yang lanjut usia, tidak mampu duduk di atas kendaraan, apakah aku menghajikannya?’ Beliau menjawab, ‘Iya’.” (HR. al-Bukhari no. 1513 dan Muslim 1334) 

Nabi ﷺ menyetujui wanita yang menceritakan keadaan ayahnya yang terkena kewajiban haji tetapi tidak mampu secara fisik. Seandainya tidak diwajibkan kepadanya tentulah nabi ﷺ tidak menyetujuinya, karena tidak mungkin beliau menyetujui satu kesalahan. Hal ini menunjukkan orang yang tidak mampu secara fisik tetapi mampu secara harta maka tetap diwajibkan atasnya haji dan dilakukan orang lain untuk mewakilinya atau dalam istilah umum dikenal dengan badal haji. 

  1. Orang yang mampu secara harta tetapi tidak mampu secara fisik dan badannya maka ia tidak diwajibkan berhaji. Inilah pendapat Hanafiyah (lihat al-Mabsuth 4/275) dan Malikiyah (lihat Bidayat al-Mujtahid 2/85 dan Ahkaam al-Qur`an 1/378). Mereka beralasan bahwa orang yang tidak mampu secara fisik dikategorikan tidak mampu sehingga tidak diwajibkan berhaji. 

Yang rajih adalah pendapat pertama. Orang yang mampu berhaji dengan hartanya dan terhalang oleh kondisi fisiknya, maka wajib baginya berhaji dengan mengutus orang yang mewakilinya, melihat ia sebenarnya mampu dengan bantuan orang lain sehingga masih masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97)

Walaupun ia tidak melakukannya sendiri tetapi bisa melakukannya dengan harta dan bantuannya. Demikian juga hadis Ibnu Abbas tentang wanita yang mewakili haji ayahnya yang tidak bisa bepergian karena lanjut usia. 

Wallahu a’lam.

Syarat kemampuan (istitha’ah

Syarat-syarat yang masuk dalam kemampuan berhaji terbagi menjadi dua: Syarat-syarat umum untuk laki-laki dan wanita, dan syarat-syarat khusus untuk wanita. 

  1. Syarat-syarat umum untuk laki-laki dan wanita 

Hal ini mencakup dua hal: kemampuan badan yang meliputi kesehatan badan serta kemampuan untuk bepergian dan mengendarai kendaraan; dan kemampuan harta yang meliputi bekal, kendaraan, serta nafkah yang melebihi hutang, nafkah, dan kebutuhan primernya. 

  1. Kemampuan badan

Ada beberapa masalah terkait dengan syarat kemampuan badan dan fisik ini, di antaranya: 

  1. Orang yang tidak dapat duduk di atas alat atau kendaraan dan hanya mampu berbaring saja.

Orang yang tidak mampu duduk di atas alat atau tidak memiliki kekuatan untuk tahan di atas kendaraan, maka tidak diwajibkan menunaikan haji sendiri dengan kesepakatan empat mazhab; Hanafiyah (lihat Badai’ ash-Shanai’ 2/121 dan Tabyiin al-Haqaa`iq 2/3), Malikiyah (lihat at-Tamhid 9/128 dan al-Kaafi Fi Fiqhi Ahli al-Madinah 1/356), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/112 dan Raudhah at-Thalibin 3/11), dan Hanabilah (lihat al-Mughni 3/222 dan asy-Syarhu al-Kabir 3/177). Pendapat ini beralasan dengan firman Allah Ta’ala:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97) 

Orang yang tidak mampu atau tidak tahan duduk di atas kendaraan maka dianggap tidak mampu sehingga tidak diwajibkan berhaji. Haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Hal ini juga dikuatkan dengan hadis Ibnu Abbas:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ 

“Seorang wanita datang seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam haji telah menjumpai ayahku, seorang tua yang lanjut usia tidak mampu duduk di atas kendaraan, apakah aku menghajikannya?’ Beliau menjawab, ‘Iya’.” (HR. al-Bukhari no. 1513 dan Muslim 1334).

Dalam riwayat Muslim: 

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللهِ فِي الْحَجِّ، وَهُوَ ‌لَا ‌يَسْتَطِيعُ ‌أَنْ ‌يَسْتَوِيَ ‌عَلَى ‌ظَهْرِ ‌بَعِيرِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: فَحُجِّي عَنْهُ

“Wahai Rasulullah sungguh ayahku seorang tua lanjut usia dan diwajibkan atasnya kewajiban haji dalam keadaan ia tidak mampu lurus di atas punggung onta. Maka beliau bersabda, ‘Berhajilah mewakilinya’.” (HR. Muslim no. 1335)

Al-Qurthubi berkata, “Siapa yang berakhir kepada tidak mampu untuk duduk di atas kendaraan dan tidak bisa tahan seperti kedudukan orang yang terpotong anggota tubuhnya, karena tidak mampu melakukannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum keduanya setelah mereka berijmak bahwa tidak wajib bagi keduanya untuk berangkat haji, karena haji hanya diwajibkan kepada orang yang mampu secara ijmak. Orang yang sakit dan yang tidak mampu naik kendaraan tidak memiliki kemampuan.” (Tafsir al-Qurthubi 4/150) 

Lebih lanjut, Ibnu Utsaimin menyatakan, “Pada zaman kita ini adalah zaman pesawat dan mobil. Orang yang tidak mampu menaikinya sangat sedikit sekali. Namun, masih ada sebagian orang yang ditimpa kesusahan luar biasa dalam menaiki mobil, pesawat, dan kapal laut. Kadang sampai pingsan, kelelahan yang luar biasa, atau ditimpa rasa pusing yang sangat berat dan muntah-muntah. Ini tidak diwajibkan berhaji walaupun badannya sehat dan kuat.” (asy-Syarhu al-Mumti’ 7/24)

  1. Apakah kesehatan badan merupakan syarat wajib?

Kesehatan badan bukan syarat wajib. Ia adalah syarat keharusan menunaikan sendiri tanpa diwakili. Siapa yang mampu secara harta tetapi tidak mampu secara fisik dan badannya, maka diwajibkan berhaji dengan mengangkat orang untuk mewakilinya (haji badal). Inilah pendapat mazhab asy-Syafi’i (lihat al-Majmu’ 7/94 dan Mughni al-Muhtaj 1/469), Hanabilah (lihat al-Mughni 3/222 dan asy-Syarhu al-Mumti’ 7/31), dan satu pendapat dalam mazhab Hanafiyah (lihat Fathu al-Qadir 2/416). Pendapat ini dirajihkan Ibnu Hazm (al-Muhalla 7/56) dan Ibnu Utsaimin (Majmu Fatawa wa Rasa`il 21/15). Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala: 

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97) 

Kemampuan dalam haji kembali kepada bekal dan kendaraan. Siapa yang memiliki bekal cukup dan kendaraan, maka diwajibkan baginya berhaji. Apabila ia tidak mampu melakukan haji dengan badannya, maka diwajibkan untuk mengangkat orang supaya mewakilinya berhaji. Hal ini juga dikuatkan dengan hadis Ibnu Abbas:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ 

“Seorang wanita datang seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam haji telah menjumpai ayahku seorang tua yang lanjut usia tidak mampu duduk di atas kendaraan, apakah aku menghajikannya?’ Beliau menjawab, ‘Iya’.” (HR. al-Bukhari no. 1513 dan Muslim 1334)

Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah hadis mutawatir dari jalan-jalan periwayatan yang sahih dari lima orang sahabat, al-Fadhl, Abdullah, Ubaidillah bin Abbas bin Abdil Muthalib, Ibnu az-Zubair, dan Abu Razin al-’Aqily. (al-Muhalla 7/57) 

Nabi ﷺ dalam hadis ini menyetujui wanita yang menceritakan keadaan ayahnya yang diwajibkan haji tetapi tidak memiliki kemampuan fisik dan badan. Seandainya tidak diwajibkan atasnya, maka nabi ﷺ tidak menyetujuinya karena tidak mungkin beliau menyetujui kesalahan. Hal ini menunjukkan orang yang tidak mampu secara badan dan fisik tetapi mampu secara harta masih diwajibkan atasnya untuk diwakilkan. (lihat al-Muhalla 7/57 dan asy-Syarhu al-Mumti’ 7/11)

  1. Kemampuan harta 

Ada beberapa masalah terkait dengan syarat kemampuan harta ini, di antaranya:

  1. Persyaratan bekal dan kendaraan termasuk di dalamnya tiket pesawat dan nafkah. 

Disyaratkan dalam kewajiban haji, adanya kemampuan bekal dan kendaraan, serta kecukupan dari hutang, nafkah, dan kebutuhan primernya. Inilah pendapat mazhab mayoritas ulama: Hanafiyah (lihat al-‘Inaayah Syarh al-Hidayah 2/417-418 dan Tabyiin al-Haqa`iq 2/4), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/75 dan Nihayat al-Muhtaj 3/242), Hanabilah (lihat al-Mughni 3/215) dan pendapat Sahnun, Ibnu Habib dari Malikiyah (lihat Mawahib al-jalil 3/448), serta umumnya para ahli fikih (lihat Subul as-Salaam 2/180).

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

 وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97) 

Allah Ta’ala berfirman: (مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً), dipahami bahwa kemampuan dalam haji bukan pada kekuatan tubuh jasmani, karena seandainya Allah Ta’ala menginginkan kekuatan jasad jasmani tentulah tidak membutuhkan untuk menyebutnya. Sebab kita sudah mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya. (lihat al-Muhalla 7/54 dan Subul as-Salaam 2/180) 

Juga firman Allah Ta’ala: 

إِلَى بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُواْ بَالِغِيهِ إِلَاّ بِشِقِّ الأَنفُسِ [النحل: 7]

“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.” (QS. An-Nahl/16:7)

Ayat ini menunjukkan bahwa perjalanan tidaklah sampai tujuan kecuali dengan kesukaran yang menyusahkan diri. Dan Allah Ta’ala tidak membebani kita hal tersebut berdasarkan firman-Nya:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [الحج: 78]

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj/22:78) (lihat al-Muhalla 7/54)

Dengan demikian, jelaslah bahwa persyaratan bekal dan kendaraan untuk mewujudkan istitha’ah dalam haji. 

Ditambah dengan firman Allah Ta’ala:

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى [البقرة: 197]

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah/2:197)

Sebab turunnya ayat ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas, 

كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} [البقرة: 197]

“Dahulu, penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal’. Apabila sampai Makkah mereka mengemis pada orang-orang. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: 

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى [البقرة: 197] 

‘Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa’.” (QS. Al-Baqarah/2:197) (HR. al-Bukhari no. 1451)

Ini adalah pendapat dari banyak sahabat tanpa ada yang menyelisihinya, di antara mereka adalah:

  1. Umar bin al-Khathab dalam menafsirkan surat Ali Imran ayat 97 dengan bekal dan kendaraan. (Riwayat Abdurrazaq dalam al-Mushannaf no. 15710)
  2. Abdullah bin Abbas dalam menafsirkan ayat ini dengan bekal dan kendaraan. (Riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 8715)
  3. Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar juga demikian. (al-Muhalla 7/54)

Oleh karena itu, Syeikhul Islam berkata, “Apabila mampu berhaji dengan bekal dan kendaraan, maka diwajibkan berhaji dengan ijmak.” (Majmu’ al-Fatawa 26/21). Ibnu al-Humaam berkata, “Kemampuan atas bekal dan kendaraan adalah syarat wajib. Kami tidak mengetahui adanya khilaf.” (Fathu al-Qadir 2/419). Demikian juga al-Jashash menukil ijmak ini. (Ahkaam al-Qur`an 2/35)

Persyaratan kendaraan ini khusus untuk orang yang jauh dari Makkah dalam jarak safar. Adapun yang dekat dan memungkinkan untuk berjalan, maka tidak mengharuskan adanya kendaraan padanya, kecuali dengan ketidakmampuan fisik seperti orang lanjut usia yang tidak kuat berjalan. Ini pendapat mayoritas ahli fikih dari mazhab Hanafiyah (lihat al-‘Inaayah Syarh al-hidayah 2/418 dan Tabyiin al-Haqa`iq 2/4), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/89 dan Mughni al-Muhtaj 1/464), dan Hanabilah (lihat al-Mughni 3/216 dan al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’ 3/34). Hal ini berdasarkan dua alasan: pertama, jaraknya dekat sehingga memungkinkan untuk berjalan, maka diwajibkan seperti bersegera menuju salat Jum’at (lihat al-Mughni 3/216); kedua, tidak adanya kesusahan yang berarti dalam menunaikan haji dengan berjalan kaki, sehingga tidak disyaratkan kendaraan. (lihat al-Inayah Syarh al-Hidayah 2/418)

  1. Kebutuhan primer yang disyaratkan dari bekal dan kendaraan. 

Kebutuhan primer ini telah dijelaskan oleh para ulama perinciannya, di antaranya:

Kebutuhan pertama: nafkah keluarga dan semua orang yang menjadi tanggung jawabnya dalam nafkah selama kepergiannya hingga pulang. 

Kebutuhan kedua: kebutuhannya dan keluarganya berupa tempat tinggal dan hal-hal yang harus diadakan seperti pembantu, perkakas rumah, dan baju dengan ukuran sedang dan layak.

Kebutuhan ketiga: melunasi hutang yang ditanggung. Karena hutang merupakan kebutuhan primernya bahkan lebih dari itu, baik hutangnya kepada bani Adam maupun hak Allah Ta’ala seperti zakat yang menjadi tanggungannya, kafarat, dan sejenisnya. (al-‘Inayah syarh al-Hidayah 2/417-418), Mughni al-Muhtaaj 1/464 dan asy-Syarhu al-Mumti’ 7/25) 

  1. Orang yang diwajibkan haji dan ingin menikah tetapi tidak memiliki harta kecuali hanya cukup untuk salah satu darinya.

Orang seperti ini ada dua keadaan:

  1. Orang yang sangat butuh menikah seperti pemuda yang memiliki syahwat menggelora dan khawatir terjerumus kepada zina. Dalam keadaan ini, pernikahan harus didahulukan atas haji. (lihat Majma’ al-Anhur 1/383, Haasyiyah Ibni Abidin 2/462 dan al-Inshaaf 3/286)

Dasar argumentasinya adalah firman Allah Ta’ala:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97)

Siapa yang sangat butuh menikah hingga khawatir terjerumus ke dalam perzinaan dan sulit menahan diri jika tidak menikah, padahal tidak memiliki harta yang cukup untuk menikah dan berhaji, maka ia termasuk tidak mampu mengadakan perjalan ke Baitullah. Dan menikah di sini seperti kedudukan makan yang menjadi kebutuhan primernya sehingga didahulukan dari haji. Ini adalah kemudahan dari Allah kepada hamba-Nya dengan tidak membebani ibadah yang menyusahkannya walaupun itu salah satu rukun Islam. 

Sedangkan nabi ﷺ pernah bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ 

“Wahai para pemuda, siapa yang mampu dari kalian untuk menikah maka menikahlah!”

Orang yang dalam keadaan seperti ini hendaknya mendahulukan menikah untuk menjaga diri dan kehormatannya. Tidak menikah dalam kondisi tersebut berarti meninggalkan dua perkara: meninggalkan kewajiban karena menikah dalam keadan ini hukumnya wajib dan terjerumus dalam perkara haram yaitu zina. (lihat Majma’ al-Anhur 1/260) 

  1. Orang yang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah, maka didahulukan haji atas pernikahan. Inilah mazhab mayoritas ulama; Hanafiyah (lihat Majma’ al-Anhur 1/383 dan Hasyiah Ibnu Abidin 2/462), Malikiyah (lihat Mawaahib al-Jalil 3/465 dan al-Fawaakih ad-Dawaani 2/790), dan Hanabilah (lihat al-Mughni 3/217 dan Kasysyaaf al-Qana’ 2/389). Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah (al-Ikhjtiyaraat al-Fiqhiyah hlm. 528), Syekh bin Baaz (Majmu’ Fatawa bin Baaz 16/359) dan Syekh Ibnu Utsaimin (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 21/71).

Pendapat ini berargumentasi dengan dalil-dalil mendahulukan pernikahan dalam keadaan syahwat yang susah dikendalikan. Juga adanya kesepakatan ulama yang disampaikan oleh Syaikhi Zaadah (Majma’ al-Anhur 1/383), Ibnu Kamaal Baasyaa (lihat Hasyiyah ibni ‘Abidin 2/462) bahkan al-Majd menyampaikan ijmak, tetapi dikritisi pengakuan ijmak ini oleh al-Mirdaawi (lihat al-Inshaaf 3/286). Orang yang sangat membutuhkan dan mendesak untuk menikah maka diwajibkan mendahulukannya sebelum haji, karena keadaan ini tidak dinamakan mampu. (lihat Mamu’ Fatawa bin Baaz 16/359-360) 

Hal ini dikuatkan oleh pernikahan merupakan benteng jiwa yang wajib dan tidak dapat dicukupkan seperti nafkah dan kesibukan berhaji dapat menghilangkannya. (Majma’ al-Anhur 1/383)

Sedangkan dalil mendahulukan haji atas pernikahan dalam keadaan syahwat normal adalah haji itu diwajibkan langsung atas orang yang memiliki kemampuan berangkat ke Baitullah sehingga didahulukan atas yang sunah, karena tidak ada kontradiksi antara wajib dan sunah. (Kasysyaaf al-Qana’ 2/389) 

Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila seseorang perlu menikah dan khawatir terjerumus dalam perzinaan dengan tidak menikah maka didahulukan atas haji yang wajib. Apabila tidak khawatir maka didahulukan haji. Imam Ahmad menyatakan dalam riwayat Shalih dan lainnya dan dirajihkan oleh Abu Bakar, “Apabila ibadah-ibadah tersebut fardu kifayah seperti ilmu dan jihad maka didahulukan pernikahan walaupun tidak khawatir terjerumus dalam zina.” (al-Ikhtiyaraat al-Fiqhiyah hlm. 528)

Syekh Bin Baaz berkata, “Apabila sudah balig dan mampu berhaji dan umrah maka diwajibkan atasnya menunaikan kedua ibadah ini, karena keumuman dalil-dalilnya, di antaranya firman Allah Ta’ala:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

‘Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.’ (QS. Ali Imran/3:97) 

Namun, orang yang memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah maka diwajibkan bersegera menikah sebelum berhaji, karena keadaan ini tidak dinamakan mampu. Apabila tidak mampu memberi nafkah pernikahan dan haji secara bersamaan, maka memulai dengan pernikahan sehingga bisa menjaga kehormatannya, berdasarkan sabda Rasulullah: 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ‌فَإِنَّهُ ‌أَغَضُّ ‌لِلْبَصَرِ ‌وَأَحْصَنُ ‌لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

‘Wahai para pemuda, siapa yang mampu dari kalian untuk menikah maka menikahlah! Karena ia dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu maka hendaknya berpuasa, karena itu perisai baginya’.” (HR. al-Bukhari no. 1806 dan Muslim no. 1400). (Majmu’ Fatawa bin Baaz 16/359-360)

  1. Keamanan dalam perjalanan sebagai wujud kemampuan berhaji. 

Keamanan dalam perjalanan yang harus diwujudkan sebagai syarat dalam kewajiban haji.

  1. Maksud dari keamanan dalam perjalanan. 

Keamanan yang menjadi syarat dalam haji adalah keamanan jalanan secara umum yang mencakup keamanan perjalanan, jiwa, dan harta dari waktu berangkat haji sampai pulang ke negerinya. Sebab kemampuan dalam berhaji tidak terwujud tanpa hal ini. (lihat Fathu al-Qadir 2/418 dan Mughni al-Muhtaaj 1/465)

  1. Apakah keamanan dalam perjalanan termasuk di dalamnya izin resmi berhaji? Apakah itu menjadi syarat wajib atau hanya syarat menunaikannya sendiri tanpa diwakili?

Orang yang ingin berhaji dan telah memenuhi semua syarat wajibnya kecuali kondisi keamanan dalam perjalanan atau tidak mendapatkan visa haji atau izin resmi dari pemerintah, apakah gugur kewajibannya? Ataukah tetap diwajibkan tetapi sebagai tanggungan bagi orang tersebut? Para ulama berbeda pandangan dalam hal ini:

  1. Keamanan perjalanan adalah syarat wajib haji. Siapa yang memiliki syarat-syarat haji tetapi khawatir keamanan di perjalanan maka tidak diwajibkan berhaji dan tidak ada beban tanggungan. Inilah pendapat mazhab Malikiyah (lihat at-Taaj wa al-Iklil 2/491 dan Mawaahib al-Jalil 3/450), Syafi’iyah (lihat al-Majmu’ 7/82 dan Mughni al-Muhtaj 1/465-466), satu riwayat dari Abu Hanifah (lihat Hasyiyah ibni ‘Abidin 2/463), dan Ahmad (lihat al-Furu’ 5/240 dan al-Inshaaf 3/292). 

Mereka berdalil bahwa sampainya ke Ka’bah dan Mekkah tanpa keamanan ini tidak dapat dibayangkan kecuali dengan kesulitan yang besar sehingga termasuk dalam cakupan keamanan (al-Istitha’ah). 

  1. Ini hanya syarat menunaikan sendiri sehingga bila semua syarat haji terpenuhi tetapi takut keamanan di perjalanan, maka haji masih menjadi tanggungannya dan gugur pelaksanaannya ketika itu. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah (lihat Hasyiyah ibni ‘Abidin 2/463 dan Fathu al-Qadir 2/418) dan Hanabilah (lihat al-Furu’ 5/240 dan al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’ 3/39).

Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah Ta’ala: 

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97) 

Orang yang mampu berhaji maka ia diwajibkan berhaji. Apabila jalannya tidak aman dan dikhawatirkan akan membahayakan, maka gugur pelaksanaannya ketika itu. Namun, kewajiban berhaji tetap menjadi tanggungannya karena telah lengkap syarat-syaratnya. Demikian juga, kemudahan dalam pelaksanaan bukanlah syarat wajibnya ibadah, dalilnya adalah seandainya penghalangnya hilang tetapi waktu salat yang tersisa tidak memungkinkan untuk melaksanakannya. (al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’ 3/39)

Demikian juga dianalogikan dengan orang yang sakit. Kekhawatiran terhadap keamanan di jalan menyebabkan pelaksanaannya tidak memungkinkan. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi penghalang untuk mengqadha`nya, sebagaimana orang sakit yang masih diharapkan sembuhnya. Adapun orang yang tidak memiliki bekal dan kendaraan, maka ia terhalang sepenuhnya dari pelaksanaan haji. 

Yang rajih dalam masalah ini dibedakan dalam dua keadaan:

  1. Wajib bagi orang yang berhaji ketika mampu mengeluarkan visa setiap tahun. Mendapatkan visa dan izin resmi haji (tashrih) dalam keadaan seperti ini adalah syarat wajib dan bukan syarat keharusan melaksanakannya, karena keumuman firman Allah Ta’ala:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة: 286]

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah/2:286)

Mencari tashrih (izin resmi haji) dan visa bukanlah berada dalam kemampuan orang yang tidak mendapatkannya. Apabila wafat maka disunnahkan kepada ahli warisnya untuk menghajikannya. 

  1. Orang yang memperoleh kemampuan mencari visa untuk haji sekali tetapi tidak mencarinya lalu wafat. Maka diwajibkan ahli warisnya untuk menghajikannya. (lihat Jam’u as-Sabaa’ik li Ahkaam al-Manaasik hlm. 59) 

Wallahu a’lam.

  1. Syarat kemampuan yang berhubungan dengan wanita secara khusus. 

Syarat kemampuan yang berhubungan dengan wanita secara khusus ada dua: syarat mahram dan syarat tidak dalam masa iddah. 

  1. Mahram

Ada empat masalah seputar mahram ini;

  1. Siapakah mahram?

Mahram yang disyaratkan dalam kemampuan seorang wanita berhaji adalah suaminya atau mahramnya yang terlarang menikahinya selama-lamanya (al-Mahram ‘ala at-Ta’biid), baik mahram disebabkan kekerabatan, menyusui, atau pernikahan. Mahram tersebut harus muslim, balig, berakal, dan tepercaya serta dapat memberikan keamanan. Karena maksud dari mahram di sini untuk menjaga wanita dan melindunginya serta mengurusi semua urusannya. (lihat Fathu al-Baari 4/77 dan al-Mughni 9/493 serta al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 17/37)

  1. Persyaratan mahram bagi wanita dalam haji sunnah.

Al-Baghawi menyatakan, “Para ulama tidak berbeda pandangan bahwa seorang wanita tidak boleh safar pada selain kewajiban kecuali bersama suami atau mahram, kecuali wanita kafir masuk Islam di negeri kafir atau tawanan bebas. Ulama yang lain menambahkan, atau wanita yang terpisah dari rombongan lalu ada seorang lelaki yang tepercaya mendapatinya, maka diperbolehkan lelaki tersebut menemaninya hingga sampai berkumpul dengan rombongannya.” (lihat Fathu al-Baari 4/76) 

  1. Persyaratan mahram dalam safar haji yang wajib. 

Para ulama berbeda pandangan pada masalah ini dalam tiga pendapat:

  1. Tidak diperbolehkan wanita bepergian untuk haji yang wajib tanpa mahram. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah (lihat Badai’ ash-Shanai’ 2/123 dan al-Mabsuth 4/100), satu pendapat dalam Syafi’iyah (lihat al-Bayaan 4/35), dan Hanabilah (lihat Masa`il Ibni Haani 1/139, al-Inshaaf 3/291, dan Kasysyaaf al-Qana’ 2/385). Pendapat ini dirajihkan oleh Syekh bin Baaz (Majmu’ Fatawa bin Baaz 16/379) dan Ibnu ‘Utsaimin (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il 21/16). 

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97) 

Wanita yang tidak memiliki mahram tidak diwajibkan berhaji, karena mahram itu bagi wanita termasuk syarat perjalanan, dan kemampuan mengadakan perjalanan adalah syarat wajib haji. Hal itu karena wanita umumnya tidak mampu naik dan turun sendiri dari unta sehingga membutuhkan orang yang membantu naik dan turunnya, baik mahram atau suami, sehingga ketika tidak ada mereka, ia menjadi tidak berkemampuan. (Tabyiin al-Haqa’iq 2/5) Oleh karena itu, tidak boleh seorang wanita bepergian jauh untuk berhaji atau selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya. (lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’ 7/37)

Nabi ﷺ bersabda, 

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا

“Tidak diperbolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian jauh sejauh sehari dan semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. al-Bukhari no. 1088 dan Muslim 1359)

Ibnu Taimiyah berkata, “Inilah nas-nas dari nabi ﷺ dalam larangan wanita bepergian jauh tanpa mahram dan tidak mengkhususkan safar tertentu padahal safar haji termasuk yang paling masyhur dan banyak.” (Syarhu al-‘Umdah 1/174)

“Maksud dari batasan dalam riwayat tersebut bukan jumlah hari perjalanannya, tetapi semua perjalanan yang dianggap safar, maka wanita dilarang keluar kecuali dengan ditemani mahram. Batasan hari di atas adalah realitas yang terjadi pada masa itu, bukan difahami minimal perjalanan harus selama itu”. Ibnul Munir berkata: “ Terjadi perbedaan tersebut pada daerah yang disesuaikan dengan para penanya”. (Fathul Baari 4/75)

Nabi ﷺ juga bersabda: 

«لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ» فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً. قَالَ: «اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ»

“Janganlah seorang lelaki berdua-duaan (berkhalwat) dengan wanita dan janganlah wanita bepergian jauh kecuali bersama mahram. Lalu seorang berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, Aku terkena kewajiban dalam perang ini dan itu. Istriku berangkat haji.’ Beliau bersabda, ‘Pergilah dan berhajilah bersama istrimu’.” (HR. al-Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341) 

Dalil ini tegas dan jelas bahwa sabda beliau (janganlah wanita bepergian jauh kecuali bersama mahram) bersifat umum dalam perkara haji dan selainnya, karena seandainya haji dikecualikan dari larangan, maka dimaafkan orang ini untuk istrinya berangkat haji tanpa mahram. (al-Bahru al-Muhith fi Syarhi Shahih Muslim ibnu al-Hajjaaj 24/295)

Demikian juga pernyataan orang tersebut dalam hadis (اكْتُتِبْتُ) menunjukkan kewajiban jihad padanya dan nabi ﷺ tidak memerintahkan dia meninggalkan jihad yang wajib kecuali dengan perbuatan wajib yang lebih besar, yaitu bepergian jauh mengantar dan membersamai istrinya berhaji. Karena itu, tidak boleh wanita melakukan safar tanpa mahram. 

Ada tambahan riwayat dari hadis ini dengan redaksi:

لَا تَحُجَّنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang wanita berhaji kecuali bersama mahramnya.” 

Namun, riwayat ini riwayat yang syadz, masalah hadis ini ada dalam sanad Amru bin Dinar dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas yang berbeda-beda:

Abu ‘Ashim dalam riwayat al-Bazzar (lihat Nashbuar-Raayah 3/10) dan Hajaaj bin Arthah dalam riwayat ad-Daraquthni dalam sunannya no. 2440 keduanya dari Ibnu Juraij dari Amru melalui sanad ini dengan redaksi: 

لَا تَحُجَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ

“Jangan berhaji seorang wanita kecuali bersamanya mahram.”

Riwayat ini menyelisihi para perawi tsiqat yang banyak dari Ibnu Juraij. Mereka semua tidak menyebutkan redaksi tambahan ini dalam hadis mereka. di antara mereka adalah Ibnu ‘Uyainah dalam riwayat al-Bukhari no. 3061, Hisyam bin Sulaiman dalam riwayat Muslim no. 1341, al-Qathaan dan Rauh bin ‘Ubaadah dalam riwayat Ahmad no. 3231 dan 3232, al-Husein bin Sa’id dalam riwayat Abu Nu’iam di al-Mustakhraj no. 3125, dan Syu’aib bin Ishaaq dalam riwayat Ibnu majah no. 2900. Mereka berenam tidak menyebut tambahan riwayat ini. Sehingga riwayat tambahan haji di sini syadz. Ditambah riwayat ini menyelisihi riwayat perawi-perawi tsiqah dari Amru bin Dinaar selain Ibnu Juraij. Di antaranya Ibnu Uyainah dalam riwayat al-Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341, Hammad bin Zaid dalam riwayat al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341, dan Rauh bin al-Qaasim dan Muhammad bin Muslim dalam riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 11/424-425. Oleh karena itu, hadis ini dihukumi sebagai hadis lemah.

Secara dalil akal, seorang wanita itu akan naik dan turun kendaraan selama bepergian haji dan membutuhkan orang yang mengurusinya. Selain mahram maka tidak aman walaupun ia seorang yang paling takwa, karena hati mudah sekali berbolak-balik dan setan selalu mengintainya. Nabi ﷺ bersabda: 

مَا خَلَا رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ الشَّيْطَانُ ثَالِثَهُمَا

“Tidaklah berdua-duaan seorang lelaki dengan seorang wanita kecuali orang ketiganya adalah setan.” (lihat Syarh al-‘Umdah 1/174-177)

Selain itu, wanita juga dikhawatirkan bila bepergian sendiri tanpa mahram dapat menimbulkan fitnah atau terkena fitnah. (lihat Tabyiin al-Haqa`iq 2/5)

  1. Diperbolehkan bagi wanita bepergian untuk melaksanakan haji wajib meski tanpa mahram, apabila mendapatkan teman-teman yang terpercaya. Inilah pendapat Malikiyah (lihat al-Muwaththa` 1/569), Syafi’iyah (lihat al-Idhah hlm. 97), dan satu riwayat dari Ahmad (lihat al-Mughni 5/31).

Pendapat ini berdalil dengan firman Allah Ta’ala: 

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97)

Asy-Syafi’i berkata, “Apabila yang diriwayatkan dari nabi ﷺ menunjukkan bahwa kemampuan berangkat adalah bekal dan kendaraan, dan wanita memiliki keduanya dan mendapati bersamanya para wanita terpercaya di jalanan yang baik dan aman, maka ia termasuk yang diwajibkan berhaji menurutku, walaupun tidak ada bersamanya mahram.” (al-Umm 3/291) 

Pernyataan beliau dikritisi, bahwa hadis yang menentukan kemampuan berhaji dengan bekal dan kendaraan adalah lemah. Seandainya sahih pun, di sana masih ada syarat-syarat lainnya, seperti keamanan jalan dan pelunasan hutang yang telah menjadi ijmak dan tidak ada dalam hadis. 

Di antara dasar pendapat kedua ini adalah hadis ‘Adi bin Haatim yang berkata: 

بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ، فَشَكَا إِلَيْهِ الفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ، فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ، فَقَالَ: «يَا عَدِيُّ، هَلْ رَأَيْتَ الحِيرَةَ؟» قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا، وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا. قَالَ: «فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ، لَا تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللهَ».(1) البخاري (3595).

“Ketika saya berada bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah tentang kefakirannya, dan seorang lagi tentang kehabisan bekalnya. Beliau bersabda: ‘Ya ‘Adiy, apakah kamu melihat al-Hiirah?’ saya berkata: ‘Saya tidak melihatnya, dan telah diinformasikan.’ Beliau bersabda: ‘Apabila kamu panjang umur, maka kamu akan melihat seorang wanita melakukan perjalanan dari al-Hiirah sampai tawaf di Ka’bah, ia tidak takut apa pun kecuali Allah’.” (HR. Bukhori: 3595)

Keluarnya wanita yang ditandu bersama perluasan Islam dan meratanya keamanan tanpa gangguan dari orang-orang fasik kepadanya di tengah perjalanan, menunjukkan perjalanan jauh wanita seperti ini diperbolehkan. Seandainya masih dilarang tentunya nabi ﷺ menjelaskannya kepada umat, karena tidak boleh menunda penjelasan ketika dibutuhkan.

Dikritisi alasan tersebut dengan adanya hadis ini untuk menjelaskan realitas dengan meratanya keamanan, bukan menjelaskan bolehnya wanita keluar bepergian jauh tanpa mahram. Nabi ﷺ sendiri menceritakan tentang para pendusta dan para dajjal akan muncul dan tidak ada seorang pun yang berpendapat tentang kebolehannya.

Kritikan ini dijawab bahwa hadis ‘Adi ada yang bersifat pujian sehingga menunjukkan kebolehannya, berbeda dengan riwayat lainnya yang bersifat mencela.

Adapun atsar para sahabat, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Umar:

أَذِنَ لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا، فَبَعَثَ مَعَهُنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ. (2) أخرجه البخاري (1860).

“Beliau mengizinkan istri-istri nabi ﷺ di akhir haji yang dilakukannya. Beliau mengutus bersama mereka Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf.” (HR. al-Bukhari no. 1860)

Ini menunjukkan bolehnya wanita safar bersama para wanita terpercaya. Umar, Utsman, Ibnu Auf, dan para istri nabi ﷺ sepakat atas hal tersebut dan tidak ada para sahabat lainnya yang mengingkarinya. 

Dikritik alasan ini dengan pernyataan bahwa mahram wanita yang bersifat abadi, dan para istri nabi ﷺ adalah ibunya kaum mukminin sehingga diharamkan secara abadi pada semua kaum mukminin. Karena kaum mukminin adalah anak-anak mereka.

Kritikan ini pun dibantah bahwa para istri nabi ﷺ sebagai ibu kaum mukimin dalam pengharaman nikah bukan dalam kemahraman, maka Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ [الأحزاب: 53]

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (QS. Al-Ahzab/33:53)

Di antara dalil pendapat kedua ini adalah pernyataan Naafi’ maula Ibnu Umar: 

كَانَ يُسَافِرُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ مَوْلَيَاتٌ لَهُ، لَيْسَ مَعَهُنَّ مَحْرَم

“Dahulu, para wanita maula Ibnu Umar berangkat bepergian jauh bersama Ibnu Umar tanpa bersama mereka mahram.” (HR. Sa’id bin Manshur sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam al-Muhamma 7/48 dengan sanad sahih). Demikian juga ketika A’isyah diberitahu bahwa Abu Sa’id berfatwa wanita tidak boleh safar kecuali bersama mahramnya, maka beliau berkata: 

مَا كُلُّهُنَّ مِنْ ذَوَاتِ مَحْرَمٍ 

“Tidak semua mereka memiliki mahram.” (HR. al-Baihaqi dalam Sunannya no. 10227 dengan sanad yang sahih). 

Sedangkan secara dalil aqli, apabila sebab larangan wanita safar tanpa mahram adalah khawatir wanita itu terkena fitnah-fitnah, maka bersama teman-teman wanita tepercaya yang aman diperbolehkan. Karena maksudnya adalah perlindungan wanita dan itu terwujudkan dengan keamanan jalan dan adanya wanita-wanita terpercaya tersebut. 

  1. Tidak disyaratkan mahram dan tidak juga wanita-wanita tepercaya yang menemaninya. Diperbolehkan wanita berhaji sendirian apabila aman dari fitnah. Inilah satu pendapat dalam Syafi’iyyah (lihat al-Majmu’ 8/343), pendapat Zhahiiriyah (lihat al-Muhalla 7/50), dan ibnu Taimiyah (lihat Ikhtiyaraat ibni Taimiyah al-Ba’li hlm. 115). 

Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang melarang wanita bersafar haji tanpa mahram, berdasarkan keumuman larangan nabi ﷺ di atas. Juga hadis seorang sahabat yang bertanya kepada nabi ﷺ:

يَا رَسُولَ اللهِ، اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً. قَالَ: اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

“Wahai Rasulullah, Aku terkena kewajiban dalam perang ini dan itu. Istriku berangkat haji.” Beliau bersabda, “Pergilah dan berhajilah bersama istrimu.” (HR. al-Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341) 

Orang tersebut diwajibakn berjihad dan nabi ﷺ tidak memerintahkannya meninggalkan kewajiban kecuali dengan sebab perbuatan wajib yang lebih besar yaitu safar menyertai istrinya berhaji. Oleh karena itu, Syekh bin Baaz berkata, “Tidak wajib haji dan umrah kecuali ketika ada mahram dan tidak boleh bersafar kecuali dengan mahram dan ini adalah syarat wajib.” (Majmu’ Fatawa Syekh bin Baaz 16/379) 

Ibnu Utsaimin juga berkata, “Di antara bentuk kemampuan adalah wanita mendapatkan mahramnya. Apabila tidak mendapatkan mahram maka hajinya tidak wajib.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il ibnu Utsaimin 21/16). Hal ini juga menjadi fatwa al-Lajnah ad-Da`imah KSA, mereka berfatwa bahwa wanita yang tidak memiliki mahram tidak diwajibkan berhaji, karena mahram baginya termasuk kemampuan berangkat. Kemampuan berangkat adalah syarat kewajiban haji, sebagaimana firman Allah Ta’ala: 

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً [آل عمران: 97] 

“Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran/3:97)

Tidak boleh wanita bersafar haji atau selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya. (Fataawa al-Lajnah ad-Da`imah 11/90)

Walaupun demikian, pendapat yang membolehkan wanita bepergian jauh dalam haji wajib tanpa mahram, apabila mendapatkan teman perjalanan yang tepercaya. Maka ini pendapat yang memiliki sisi kuat juga. Oleh karena itu imam Malik berkata, “Apabila wanita tidak memiliki mahram yang dapat berangkat menyertainya atau memiliki tetapi tidak mampu berangkat membersamainya, maka tidak meninggakna kewajiban haji dan hendaknya berangkat dalam rombongan wanita.” (al-Muwaththa’ 1/569) dan Ibnu Taimiyah berkata, “Wanita bersafar tanpa mahram terlarang dan diperbolehkan untuk maslahat yang lebih pas dan kuat. Apabila tidak mampu berhaji bersama mahram, boleh berangkat haji apabila aman dari fitnah, karena hajinya bersama orang yang tepercaya lebih kuat daripada kehilangan haji; karena apabila terjadi antara kehilangan haji wajib atas wanita dan safarnya tanpa mahram dalam keadaan aman, maka mendapatkan haji lebih maslahat baginya.” (Tafsir Ayaat Asykalat 2/683-686). Hal ini tampaknya dipandang bahwa larangan wanita safar tanpa mahram termasuk sad dzari’ah (menutupi peluang kepada keharaman) dan kaidah disampaikan bahwa yang terlarang karena sad dzari’ah dapat diperbolehkan jika ada hajat kebutuhan dan kemaslahatan yang pasti. Wallahu a’lam. 

  1. Wanita bepergian haji wajib dengan pesawat bersama teman-teman wanita yang tepercaya.

Kemajuan teknologi telah mengubah lanskap perjalanan, memungkinkan mobilitas jarak jauh yang lebih cepat dan mudah, salah satunya melalui pesawat terbang. Pesawat dapat mengangkut rombongan besar dengan berbagai tujuan, termasuk perjalanan ibadah haji. Namun, muncul pertanyaan mengenai hukum wanita yang menunaikan ibadah haji menggunakan pesawat tanpa didampingi mahram. Apakah kondisi ini dapat dianggap sebagai keringanan (rukhsah)?

Terdapat dua sudut pandang dalam menelaah hukum wanita bersafar dengan pesawat terbang:

  1. Kesinambungan larangan safar tanpa mahram: Pandangan ini berpegang pada keumuman larangan bagi wanita untuk bepergian jauh tanpa didampingi mahram.
  2. Analogi dengan rombongan besar: Pandangan ini mempertimbangkan apakah perjalanan dengan pesawat dapat dianalogikan dengan rombongan kafilah besar di masa lalu, di mana sebagian ulama memberikan keringanan syarat mahram jika wanita bepergian dalam rombongan yang banyak. Al-Baaji menyampaikan bahwa syarat mahram berlaku ketika wanita bepergian sendirian atau dengan teman dalam jumlah sedikit. Namun, jika dalam rombongan besar, hukumnya sama seperti berada di negeri sendiri, sehingga wanita diperbolehkan bersafar tanpa teman wanita maupun mahram. Beliau juga menambahkan, jika perjalanan ditemani oleh banyak wanita tepercaya dengan perbekalan lengkap atau dalam rombongan besar yang aman, maka tidak ada perbedaan pendapat mengenai kebolehan safar tanpa mahram dalam seluruh perjalanan, baik wajib, sunnah, maupun mubah, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama lainnya. (Mawahib al-Jalil 2/524)

Namun, alasan ini tetap tidak memperbolehkan wanita bersafar tanpa mahram meskipun dalam rombongan besar. Potensi ketidakamanan tetap ada, seperti penundaan penerbangan yang menyebabkan keterlambatan penjemputan, risiko berdekatan dengan lelaki bukan mahram, serta potensi fitnah akibat interaksi yang tidak terkontrol, terutama di era modern ini.

Meskipun demikian, sebagian ulama kontemporer membolehkan wanita bepergian jauh dengan pesawat tanpa mahram dengan alasan perkembangan transportasi. Perjalanan udara umumnya tidak memakan waktu lama dan kondisi safar saat ini berbeda jauh dengan zaman dahulu. Selain itu, di dalam pesawat terdapat banyak orang sehingga wanita terhindar dari situasi menyendiri

Pendapat yang membolehkan wanita bepergian tanpa mahram dengan alasan kemudahan transportasi mendapatkan kritik. Illat atau sebab disyariatkannya mahram adalah esensi dari safar (bepergian jauh) itu sendiri, bukan semata-mata kesulitan atau kesusahan perjalanan. Jika kemudahan menjadi alasan untuk menggugurkan perintah adanya mahram, maka dapat pula ditarik analogi yang keliru, misalnya melarang musafir menggunakan pesawat untuk mengqashar salat karena kesulitan dalam perjalanan tidak lagi menjadi patokan baku.

Kebutuhan wanita akan mahram tetap relevan dalam berbagai aspek perjalanan, termasuk saat naik dan turun kendaraan, melalui proses imigrasi, serta berpindah tempat selama pelaksanaan manasik haji, dan aktivitas lainnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wanita dalam perjalanan jauh, termasuk untuk menunaikan ibadah haji, tetap dianjurkan dan bahkan diwajibkan untuk didampingi oleh mahram.

Persyaratan masa iddah

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah masa iddah menjadi syarat wajib bagi seorang wanita untuk menunaikan ibadah haji. Terdapat dua pandangan utama dalam hal ini:

1. Masa iddah sebagai syarat wajib

Pendapat ini menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah haji jika masih berada dalam masa iddah saat keberangkatannya. Ini merupakan pandangan dari Mazhab Hanafi (lihat al-Mabsuth 6/36 dan al-Fatawa al-Hindiyah 1/219), Mazhab Maliki (lihat al-Mudawanah 2/42, Hasyiyah ad-Dasuqy 1/545 dan 2/486), Mazhab Syafi’i (lihat al-Umm 5/579 dan Raudhat ath-Thaalibin 8/417), serta sebagian ulama Hanbali yang secara khusus memberlakukan syarat ini pada masa iddah karena kematian suami (lihat al-Mughni 8/167 dan Kasysyaaf al-Qana’ 2/385).

Argumen yang mendasari pendapat ini adalah:

  1. Wanita yang ditinggal wafat suaminya tidak diperbolehkan keluar rumah dan bepergian untuk haji hingga masa iddahnya selesai. Dalam kondisi ini, wanita tersebut dianggap tidak mampu untuk melaksanakan haji. Oleh karena itu, ia wajib menunggu di rumahnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah/2:234)

  1. Allah juga melarang wanita yang berada dalam masa iddah untuk keluar rumah, sebagaimana firman-Nya:

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar.” (QS. Ath-Thalaq/65:1)

  1. Larangan bagi wanita dalam masa iddah untuk keluar rumah dan bepergian jauh dijelaskan dalam hadis Furai’ah binti Malik bin Sinan:

أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ وَهِيَ أُخْتُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فَإِنِّي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ دَعَانِي أَوْ أَمَرَ بِي فَدُعِيتُ لَهُ فَقَالَ كَيْفَ قُلْتِ فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِي قَالَتْ فَقَالَ امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَسَأَلَنِي عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرْتُهُ فَاتَّبَعَهُ وَقَضَى بِهِ

“Al-Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al-Khudri telah mengabarkan kepadanya bahwa ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di antara Bani Khudrah, karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf Al-Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kembali kepada keluargaku, karena ia (suami) tidak meninggalkan rumah dan harta untukku. Ia berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya’. Ia berkata: ‘Kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku atau memerintahkan agar aku datang’. Kemudian beliau berkata: ‘Apa yang tadi engkau katakan?’ Kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah kusebutkan mengenai keadaan suamiku. Ia berkata: Lalu beliau berkata: ‘Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa ‘iddahmu.’ Ia berkata: ‘Kemudian aku ber’iddah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari.’ Ia berkata: ‘Kemudian tatkala Utsman bin Affan mengirimkan surat kepadaku, ia bertanya mengenai hal tersebut, lalu aku kabarkan kepadanya, lalu ia mengikutinya dan memberikan keputusan dengannya’.” (HR. Abu Dawud no. 2300 dan disahihkan oleh al-Albani)

  1. Terdapat pula atsar (perkataan atau perbuatan sahabat) yang mendukung pandangan ini, di antaranya:

أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَرُدُّ الْمُتَوَفَّى عَنْهُنَّ أَزْوَاجُهُنَّ مِنَ الْبَيْدَاءِ، يَمْنَعُهُنَّ الْحَجَّ

“Umar bin Khathab dahulu memulangkan wanita yang ditinggal wafat suaminya dari al-Baida` dan melarang mereka berhaji.” (HR. Malik no. 1730 dan memiliki banyak jalur periwayatan dari Umar, diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur no. 1344 dan lainnya. Meskipun hadisnya mursal, dengan banyaknya jalur ini dapat naik derajat menjadi hasan lighairihi dan dinilai sahih oleh Muhamad Subhi Hallaq dalam tahqiq Subulussalam 6/235)

  1. Ada pula atsar dari Utsman bin Affan, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa mereka melarang wanita dalam masa iddah untuk berhaji. (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 14856, 19180, dan 19182)
  2. Mereka juga berpendapat bahwa kewajiban menetap di rumah selama masa iddah tidak dapat diganti. Sementara itu, ibadah haji dapat ditunda dan dilaksanakan pada tahun berikutnya jika memungkinkan. Dengan demikian, menunda haji karena masa iddah tidak menghilangkan kewajiban tersebut. (lihat al-Mughni 8/168 dan Kasysyaaf al-Qana’ 2/385)

2. Diperbolehkan berhaji saat masa iddah

Pendapat ini menyatakan bahwa wanita yang dicerai maupun yang ditinggal wafat suaminya diperbolehkan keluar rumah dan bepergian untuk menunaikan ibadah haji selama masa iddah. Ini merupakan pendapat dari Aisyah, Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm (al-Muhalla 10/73).

Ibnu Abi Syaibah no. 14851 meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Atha’, beliau berkata:

أَنَّ عَائِشَةَ أَحَجَّتْ أُمَّ كُلْثُومٍ فِي عِدَّتِهَا

“Aisyah menghajikan Ummu Kultsum di masa iddahnya.”

Demikian pula, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Habib al-Mu’allim, yang berkata:

سَأَلْتُ عَطَاءً عَنِ الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا، تَحُجَّانِ فِي عِدَّتِهِمَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، قَالَ حَبِيبٌ: وَكَانَ الْحَسَنُ يَقُولُ ذَلِكَ

“Aku bertanya kepada ‘Atha` tentang orang yang ditalak tiga kali dan yang suaminya wafat apakah boleh berhaji pada masa iddahnya?” Beliau menjawab, “iya”. Habib juga berkata, “Dulu al-Hasan berpendapat demikian juga.”

Pendapat yang lebih kuat

Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah yang mensyaratkan kewajiban haji bagi wanita jika ia tidak berada dalam masa iddah ketika keberangkatan haji, dengan catatan haji tersebut mudah baginya untuk dilaksanakan setelah masa iddah selesai. Namun, tidak mengapa bagi seorang wanita untuk berhaji pada masa iddahnya jika tidak memungkinkan atau sangat sulit untuk berhaji setelah itu bersama mahramnya, terutama dengan kondisi zaman sekarang.

Wallahu a’lam.

🔍 Hukum Memakai Software Bajakan, Definisi Syariat, Puasa Senin Kamis Tidak Sahur, Cara Solat Istiqoroh, Maghrib Berapa Rakaat

Visited 1 times, 19 visit(s) today


Post Views: 1

QRIS donasi Yufid



Game Center

Game News

Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime

Gaming Center